PURWOKERTO – Kalangan akademisi, jurnalis, seniman, pengusaha, dan mahasiswa di Purwokerto yang melebur dalam Masyarakat Sipil Anti Oligarki, mengajukan petisi terkait Undang – Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Juru bicara Masyarakat Sipil Anti Oligarki Dr Haryadi dalam keterangan tertulis mengatakan, petisi diajukan untuk mengingatkan DPR dan Presiden bahwa pembaruan hukum mesti bersifat demokratis serta mengedepankan keberpihakan pada rakyat.
“Masyarakat Sipil Anti Oligarki memandang, pengesahan UU KPK dan revisi RKUHP merupakan ekspresi politik yang berwatak elitis-oligarkis dan represif-otoritarian,” katanya, Kamis (26/9).
Dia berujar, UU KPK dengan sangat mencolok menegaskan sifat akomodatif terhadap kepentingan elit dan oligarki melalui pasal-pasal bermasalah. Pasal dimaksud antara lain tentang pembentukan Dewan Pengawas (Pasal 37 (A-H), kewenangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) (Pasal 40), permohonan izin dari Dewan Pengawas (Pasal 37 B huruf b), masuknya KPK dalam rumpun eksekutif (Pasal 1 ayat 3) dan status pegawai KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) (Pasal 1 ayat 6).
Pasal-pasal bermasalah tersebut berpotensi mengancam dan melemahkan KPK yang selama ini telah terbukti mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang dilakukan oleh elit dan melibatkan jaringan oligarki.
RKUHP, lanjutnya, menegaskan sifat akomodatif pada kepentingan oligarki, sebaliknya represif terhadap rakyat melalui pasal-pasal bermasalah, antara lain tentang hukuman ringan terhadap koruptor (Pasal 604), makar (Pasal 188), kegiatan promosi atau mempertunjukkan alat kontrasepsi tanpa diminta (Pasal 414 dan 416), perzinaan (Pasal 418), penghinaan presiden (Pasal 218-220), santet (Pasal 252), aborsi (Pasal 251, 470-472), gelandangan (Pasal 432), dan unggas (Pasal 278-279). Pasal-pasal tersebut sangat berpotensi mengancam kedaulatan rakyat atas dirinya sendiri, mengancam kebebasan berekspresi dan merusak kohesi sosial.
Watak elitis-oligarkis dan represif-otoritarian tersebut bukanlah hal baru di Indonesia. Keduanya muncul dalam sejarah rezim Orde Baru (Orba) saat menikmati kekuasaan panjang dari tahun 1966 sampai 1998.
Sisi kelam Orba meninggalkan bekas mendalam tentang pelanggaran- pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta daftar panjang praktik antidemokrasi (crimes againt humanity).
Pasca reformasi 1998 ternyata tidak menghilangkan watak elitis-oligarkis dan represif-otoritarian secara signifikan. Bahaya penghilangan pandangan kritis masih juga mengancam.
“Hal itu seperti terlihat dalam peristiwa dibunuhnya aktivis HAM Munir Said Thalib, peristiwa penyiraman penyidik KPK Novel Baswedan. Selain itu, konflik agraria yang sebagian besar melibatkan elit dan jaringan oligarki juga masih terjadi di berbagai daerah. Watak represif juga nampak dalam penanganan aksi mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak UU KPK dan RUU KUHP. Aksi tersebut merupakan ekspresi politik yang konstitusional dan semestinya dijamin oleh negara,” jelasnya.
Berdasarkan hal itu, kata Hariyadi, Masyarakat Sipil Anti Oligarki menuntut kepada DPR dan Presiden untuk menghapus pasal-pasal bermasalah yang berwatak elitis-oligarkis dan represif-otoritarian dalam Undang-Undang KPK dan Rancangan Undang-Undang KUHP. Menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah disebutkan di atas dan menghentikan segala bentuk kebijakan pemerintah yang mengarah pada terjadinya pelanggaran HAM.
Menghentikan segala bentuk kekerasan dan kriminalisasi dalam upaya penyelesaian konflik- konflik agraria serta mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat di atas kepentingan elit-oligarki. Menghentikan pendekatan represif oleh aparat dalam menangani aksi unjuk rasa baik mahasiswa maupun masyarakat sipil.(K17-)