Banyumas, Suarabanyumas.com – Kesenian ebeg, salah satu tarian tradisional khas Banyumas, telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia sejak tahun 2021, bersamaan dengan pengakuan terhadap tempe mendoan. Kesenian ini menggunakan alat peraga berupa eblek, yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk menyerupai kuda. Seiring pengakuan tersebut, kelestarian ebeg pun semakin diperhatikan, termasuk melalui para pengrajin eblek yang tetap eksis menjaga tradisi.
Nisam, seorang pengrajin eblek berusia 71 tahun dari RT 03 RW 02, Grumbul Cemplang, Desa Pancurendang, Ajibarang, menjadi salah satu sosok yang berperan penting dalam menjaga warisan budaya ini. Ia telah menekuni kerajinan eblek sejak tahun 1986 dan hingga kini masih aktif memproduksi alat kesenian tersebut.
“Sejak tahun 1986 saya mulai bikin kerajinan eblek,” tutur Nisam saat ditemui pada Minggu, 13 Oktober 2024. Untuk membuat satu eblek ukuran 140 cm, ia memerlukan waktu sekitar tiga hari. Bahan baku yang digunakan adalah bambu tali, yang dipotong, diserut, lalu dianyam menjadi bentuk kuda. “Setelah dianyam, eblek di-bliker, dicat, lalu dikasih suri di bagian kepala,” jelasnya.
Nisam juga menjelaskan bahwa ukuran eblek bervariasi, mulai dari yang diperuntukkan bagi anak-anak hingga orang dewasa. Eblek berukuran 70 cm dihargai Rp 150 ribu, sedangkan ukuran 140 cm untuk dewasa dijual seharga Rp 300 ribu.
Dalam menjaga kelestarian tradisi ini, Nisam sering dibantu oleh tetangganya, Pak Rustam, dan kadang oleh cucunya yang juga seorang pelukis. “Kadang sama Pak Rustam, kalau ada waktu saya, cucu juga nyempetin,” ungkapnya. Pesanan *eblek* pun datang dari berbagai grup kesenian, termasuk dari Desa Jipang dan Purwokerto. Hingga saat ini, ia telah menerima pesanan hingga 15 buah.
Dengan keahlian dan dedikasinya, Nisam turut serta menjaga agar kesenian *ebeg* Banyumasan tetap lestari di tengah perubahan zaman. “Alhamdulillah, masih ada yang pesan,” pungkasnya dengan penuh syukur. *