AKHIR-AKHIR ini dunia media negeri tak lepas tertuju pada Fenomena Habib Rizieq Sihab (HRS), dari soal kepulangannya, soal pelanggaran masa atas protokoler kesehatan hingga persateruannya dengan Nikita Mirzani.
Dari deretan persoalan-persoalan tersebut, aspek penting yang menarik untuk dibincangkan adalah misi penting HRS yang dalam pengakuannya di beberapa media yakni Rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang dimaksud HRS adalah dialog dengan Pemerintah yang ia anggap selama ini melakukan kriminalisasi ulama. Tawaran yang diberikan oleh HRS diantaranya adalah Pembebasan dari kalangan ulama seperti Abu Bakar Baasyir, Habib Bahar bin Smith, pembebasan dari kalangan Akademisi seperti Doktor Syahganda Nainggolan, dari kalangan aktifis seperti Anton Permana, Jumhur Hidayat, dan juga pembebasan aktifis mahasiswa dan para pendemo dari ruang-ruang tahanan. Misi HRS selain Rekonsiliasi adalah Revolusi Akhlaq yang mana revolusi ini bisa berubah dalam bentuk perang atau jihad fi sabilillah.
Terhadap misi Rekonsiliasi HRS, Pemerintah melalui Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menanggapi bahwa tidak diperlukan adanya rekonsiliasi karena hubungan Pemerintah dan HRS selama ini tidak ada masalah. Soal kepergian dan kepulangan HRS hingga soal pemidanaan beberapa tokoh yang dituduhkan HRS adalah soal normatif hukum yang mesti harus ditegakkan. Kata kuncinya lanjut Moeldoko adalah pemahaman akan hak dan tanggung jawab masing-masing, dan negara akan menjamin perlindungan terhadap hal tersebut.
Terlepas dari siapakah yang mendekatai kebenaran antara kubu HRS atau Pemerintah, Rekonsiliasi atau islah adalah sebuah hal yang penting, bahkan dalam tradisi hukum Islam islah wajib dilakukan dalam rangka menjaga lima prinsip universal (al-kulliyyatul khams) yakni menjaga eksistensi agama, perlindungan jiwa, harta, keturunan dan kehormatan. Dalam referensi hukum Islam, rekonsiliasi yang dicontohkan dalam al-Quran adalah rekonsiliasi antara pasangan suami isteri yang sedang mengalami prahara rumah tangga (syiqaq) sehingga keduanya berjauhan dan dapat menyebabkan perceraian. Maka teknis rekonsiliasi yang ditawarkan al-Quran (QS an-Nisa’; 35) adalah dengan cara masing-masing pihak baik suami maupun isteri mengirimkan juru runding (hakam).
Beberapa ahli tafsir seperti as-sa’di dan ath-thabari mengemukakan bahwa juru runding ini harus memiliki kriteria antara lain berkarakter adil (‘adalah) dan bervisi menyatukan karena penyatuan rumah tangga lebih diharapkan dari pada perceraian (in yurida islaha, yuwaffiqillahu bainahuma).
Di samping rekonsiliasi normatif (syar’i) di atas. Sejarah islam juga memperkenalkan Rekonsiliasi yang sarat dengan makna politik (siyasi) ini dijelaskan Ibnu Katsir dalam karyanya Al-Bidayah wa al-Nihayah (Jilid 2 halaman 339). Rekonsiliasi ini terjadi ketika Ka’bah mengalami kerusakan berat akibat badai gurun sehingga membutuhkan konstruksi baru.
Persoalan muncul ketika sesi peletakan Hajar Aswad ke tempat semula yang mana empat kabilah besar merasa berhak untuk meletakkannya. Rekonsiliasi-pun terjadi dengan kesepakatan bahwa siapa orang yang pertama kali masuk ke area ka’bah, itulah yang berhak meletakkannya. Ternyata Nabi Muhammad-lah orangnya. Namun nabi bukanlah orang yang egois sehingga nabi meminta perwakilan dari masing-masing kabilah untuk memegang tepi kain dan mengangkat Hajar Aswad bersama-sama untuk diletakkan pada tempat yang dituju.
Dalam konteks Rekonsiliasi ala HRS, dua model rekonsiliasi tersebut bisa dapat digunakan sebagai pertimbangan. Rekonsiliasi normatif atau rekonsiliasi Syar’I bisa mungkin dilakukan manakala keduanya ada prahara dan dikhawatirkan (secara yakin) akan mengarah pada perpecahan. Namun hemat penulis rekonsiliasi model ini kurang tapat dalam konteks ini, mengingat Pemerintah pemerintah telah menegaskan bahwa hubungan antara Pemerintah dan HRS beserta pengikutnya baik-baik saja di samping Pemerintah siap melindungi hak-hak semua warga negara seadil-adilnya.
Rekonsiliasi ala HRS lebih tepat menggunakan model Rekonsiliasi kedua yaitu Rekonsiliasi Siyasi, mengingat Pertama: rekonsoliasi ini tidak berbasis kesalahan masing-masing. Artinya Pemerintah tidak memiliki kesalahan normative terhadap HRS begitupun mungkin sebaliknya. Persoalan terjadi adalah soal kewenangan saja sehingga seyogyanya masing-masing menempatkan pada posisi masing-masing. HRS sebagai ulama seyogyanya sebagai pendakwah agama sesuai dengan Porsinya sedangkan Pemerintah bertanggung jawab dalam melindungi dakwah tersebut.
Soal amar ma’ruf nahi munkar yang selama ini digaungkan HRS patut direspon secara prosporsioanal. Ulama berfungsi sebagai penyeru dan penyampai (tabligh) sedangkan Pemerintah berfungsi sebagai Penegaknya (ahlu al-hisbah), maka tidak ada negeri dimanapun juga tidak ada ajaran atau mazhab hukum apapun yang memperkenankan seorang individu atau kelompok bertindak sendiri sebagai penegak hukum karena penegak hukum adalah kewenangan Pemerintah.
Kedua sebagai argumentasi, rekonsiliasi ini memliki tujuan bersama bagaikan meletakkan Hajar Aswad ke posisinya, Artinya HRS membawa misi revolusi akhlak yang mana revolusi ini sudah lama digambarkan oleh Pemerintahan Jokowi dengan Revolusi mental yang terdesain dalam program nawacitanya. Jika rekonsiliasi demikian terlaksana maka semua akan berjalan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing dan tujuan dan cita-cita bersama negeri ini akan terwujud. Allahu A’lam. (K17-)