ADANYA banjir di Banyumas, Kamis Pon (3/12/2020) lalu mengingatkan warga terhadap peristiwa ‘Blabur Banyumas’ 159 tahun lalu atau 1861 masehi. Peristiwa inilah yang disebut-sebut menjadi latar dipindahkannya ibukota Banyumas menuju Purwokerto. Sebelum peristiwa itu terjadi, alamat sasmita dari para sesepuh berupa
ungkapan sanepa (kiasan) “Bakale ana betik mangan manggar” (Nanti akan ada ikan betik memakan manggar) pun muncul.
M Koderi dalam bukunya Banyumas, Wisata dan Budaya (1991) mencatat ‘blabur’ atau banjir di Kota Banyumas terjadi selama tiga hari yaitu mulai Kamis Wage, Jumat Kliwon hingga Setu Legi atau 21-23 Februari 1861. Selama tiga hari itulah Kota Banyumas terendam air akibat luapan Sungai Serayu yang berada di sisi utaranya. Selain menghanyutkan rumah warga dan harta benda, Blabur Banyumas itu diceritakan banyak menelan korban jiwa.
Jejak Blabur Banyumas juga bisa dilihat dalam prasasti berbahasa Belanda di komplek Pondok Pesantren GUPPI Banyumas yaitu di tembok bagian selatan gedung yang persis di pintu masuk kompleks. Dari prasasti itulah terlihat bekas ketinggian air Blabur Banyumas yang ke langit gedung. Jejak lain terlihat di rumah keluarga Ong Keng Saey yang termasuk benda cagar budaya yang didirikan 1800. Di tembok rumah keluarga inilah jejak garis batas banjir setinggi lima meter dan tertulis 21 Februari 1860.
Banjir itulah yang diceritakan sangat dahsyat karena ketinggian air bisa mencapai setinggi pohon kelapa. Tak heran jika sanepa ‘bethik mangan manggar‘ bisa jadi nyata adanya. Dalam kiasan itu, ikan bethik yang merupakan ikan endemik Serayu itu bisa mencapai hingga memakan manggar atau bunga kelapa. Adapun warga yang selamat dari musibah banjir itu adalah mereka yang mengungsi ke tempat tinggi, ke pendopo kabupaten dan masjid besar di sebelah barat alun-alun Banyumas.
Saat kejadian itu, Bupati Banyuma syaitu Kanjeng Raden Adipati Cakranegara I tidak tinggal diam. Sang Bupati bahkan sampai turun untuk turut serta menolong warganya dalam banjir tersebut. Berkat jasa-jasaya itulah ia dianugerahi bintang pernghargaan dari Gubernemen pemerintah Hindia Belanda yaitu bintang “Ridder Orde Eiken Kroon“. Hingga setelah itulah, sang adipati dikenal dengan sebutan Kanjeng Ridder.
Banjir 20 Tahun Lalu
Menurut data sementera Badan Penanggulangan Bencana Daerah, akibat banjir luapan Sungai Serayu, Kamis (3/12/2020) ini, setidaknya ada 1000 rumah yang terendam luapan air Sungai Serayu. Selain di wilayah kecamatan Banyumas, rumah yang terdampak banjir tersebar pada sejumlah desa di Kecamatan Kembaran, Kalibagor, Somagede dan Rawalo.
Titik mengaku tidak menyangka Sungai Serayu akan meluap dan menggenangi permukiman warga. Sebab, peristiwa banjir ini merupakan sangat jarang terjadi.
“Ini yang Sungai Serayu yang tidak kami duga awalnya. Katanya kejadian (banjir) ini menurut informasi dari warga sekitar 20 tahun lalu,” kata Titik Pujiastuti selaku Kepala Pelaksana BPBD Banyumas saat meninjau banjir di Desa Kedunguter, Kecamatan Banyumas, Kamis (3/12/2020) pagi.
Berdasarkan pendataan sementara di Kecamatan Kalibagor tercatat sebanyak 300 rumah terdampak. Sementara di Desa Kedunguter, Kecamatan Banyumas 65 rumah dan di Kecamatan Somagede hampir 600 rumah terdampak.
“Kalau secara keseluruhan mungkin lebih dari 1.000 rumah. Kami masih melakukan pendataan, ini personel kami dibagi-bagi ke wilayah terdampak. Hari ini kita belum buka dapur umum. Untuk sementara kami pasok bahan makanan,” kata Titik.
Berdasarkan pantauan, puluhan warga terdampak banjir di Desa Kedunguter, Kecamatan Banyumas juga mengungsi di masjid At Taqwa dan rumah-rumah warga desa setempat. Demikian halnya dengan ratusan warga Grumbul Bonjok, Desa Sokawera, Kecamatan Somagede. Mereka dievakuasi menggunakan perahu karet menuju ke balai desa dan rumah-rumah tetangga desa.
(Baca Juga : Serayu Meluap, Rendam Seribuan Rumah Warga )
Terhadap luapan Sungai Serayu itu, sejumlah warga juga berharap tidak ada lagi banjir serupa di masa mendatang. Apalagi ke depan wilayah Banyumas direncanakan akan kembali menjadi kabupaten baru pemekaran Kabupaten Banyumas.
“Semoga banjir ini tidak ada lagi. Kita berdoa semoga ‘bethik mangan manggar’ tidak sampai terjadi lagi. Kita perlu mengoreksi dan mengantisipasi bersama kenapa banjir ini bisa terjadi. Selain wilayah hilir Sungai Serayu, perlu juga dilihat kondisi wilayah hulu Serayu,” jelas Adiyanto, warga Banyumas. (Susanto, NP Sukmono-)