BANYUMAS – Terdakwa pembunuhan dan mutilasi Deni Prianto (37) terhadap korban Khomsatun Wachidah (51) warga Cileunyi, Bandung, Jawa Barat menjalani sidang pembelaan di Pengadilan Negeri Banyumas, Selasa (10/12).
Sidang beragendakan pembacaan pledoi atau surat pembelaan dari pihak Deni Prianto. Pada sidang pekan lalu, terdakwa dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum.
Penasehat hukum dari terdakwa Deni Prianto, Waslam Maksid, menyatakan tidak sependapat sepenuhnya dengan jaksa penuntut umum. Menurut perimbangannya penasehat hukum, terdakwa melanggar pasal 338 KUHP, pasal 181 KUHP dan pasal 362 KUHP.
“Jadi bukan pembunuhan berencana seperti yang dituntut jaksa penuntut umum,” katanya.
Disamping itu, penasehat hukum juga tidak sependapat jika terdakwa dituntut dengan pidana mati. Dari fakta di persidangan, baik keterangan anak, saksi-saksi, ahli maupun barang bukti yang diajukan, terdakwa telah menghilangkan nyawa korban memenuhi unsur pasal 338 KUHP.
Pro dan Kontra
“Kami mohon dari majlis hakim untuk menjatuhkan putusan maksimal 15 tahun penjara, sesuai dengan ancaman pasal 338,” katanya.
Alasan lain yang menjadi pertimbangan keberatan tuntutan pidana mati, mendasarkan beberapa hal. Pertama, dunia internasional (PBB) sudah menghapus pidana mati sejak tahun 1971-1977.
Kedua, konstitusi negara Indonesia, UUD 45 pasal 28 huruf i menyampaikan, hak hidup seseorang yang tidak bisa dicabut dengan alasan apapun. Ketiga, penerapan hukuman pidana mati dalam hukum positif di Indonesia sekarang masih menumbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Ada yang sependapat, mendukung, tapi ada juga kalangan yang pidanamati dihapuskan. “Kami juga menemukan fakta-fakta selama persidangan ada hal-hal yang meringankan. Sebagaimana diketahui ibu kandung terdakwa selalu mengikuti jalannya persidangan, tapi tidak tercantum dalam tuntutan jaksa penuntut umum,” katanya.
Sementara penasehat hukum mencantumkan ini sebagai salah satu fakta yang berbeda. Ada hal-hal yang meringankan dalam diri terdakwa. Memang terdakwa terbukti menghilangkan nyawa korban.
Namun, latar belakang bersangkutan menghilangkan nyawa karena kondisi psikis yang bingung. Salah satunya, terdakwa dituntut untuk mengembalikan pinjaman yang sudah dipakai.
Setelah dibacakan pledoi, majlis hakim menanyakan apakah terdakwa mengajukan pembelaan untuk diri sendiri?. Deni Prianto menyiapkan kertas yang ditulis tangan.
Menahan Tangis
Namun, baru beberapa kata ia tak kuasa menahan tangis. Akhirnya, surat pembelaan dibacakan penasehat hukum. Dalam isi surat itu, ia membuka dengan permohonan maaf kepada keluarga almarhumah atas kekhilfannya.
Kemudian, dalam pembelaannya ia menyatakan ada hal-hal yang berat hati selama proses persidangan. Sebagai contoh, dalam proses pembuatan berita acara pemeriksaan, ia tidak diperbolehkan membaca hasil pembuatan berita acara pemeriksaan oleh penyidik.
“Dan ternyata ada perbedaan dengan keterangan saya dalam berita acara pemeriksaan. Saya pun di tekan untuk menandatangani berita acara pemeriksaan tanpa membacanya lebih dulu,” tulisnya dalam surat tersebut.
Kemudian, ia juga mengemukakan dalam surat dakwaan ada yang tidak sesuai dengan
dilakukannya. Dalam dakwaan tersebut disebutkan bahwa ada salah satu kalimat yang berbunyi bahwa korban masih bergerak-gerak dan belum meninggal.
“Padahal, pada kenyataannya waktu itu korban sudah meninggal pada saat saya melakukan (dipukul martil) pertama kali,” katanya.
Untuk itulah melalui surat pembelaan, ia minta diberikan keringanan hukuman agar suatu saat nanti dapat berkumpul lagi dengan keluarga.
Usai membacakan pledoi, majlis hakim memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum. Jaksa penuntut umum akan memberikan tanggapan secara tertulis seminggu lagi. Sidang ini ditunda dengan agenda lanjutan tanggapan dari pembelaan, Selasa pekan depan. (H60-20)