Blabur Banyumas adalah sebuah peristiwa banjir besar yang terjadi di wilayah Kabupaten Banyumas pada tahun 1861. Banjir ini disebabkan oleh meluapnya Sungai Serayu yang menggenangi kota Banyumas hingga setinggi 3,5 meter. Peristiwa ini dikenal sebagai salah satu bencana alam terbesar dalam sejarah Banyumas.
Salah satu bangunan yang menjadi saksi sejarah Blabur Banyumas adalah Pendopo Si Panji, sebuah pendopo bergaya Jawa yang dibangun oleh Bupati Banyumas VII, Adipati Yudonegoro II, pada tahun 1706. Pendopo ini berlokasi di Kecamatan Banyumas, sekitar 16,4 kilometer dari Purwokerto. Nama pendopo ini diambil dari salah satu pilar atau saka guru yang bernama Si Panji yang menjadi lambang kekuatan.
Ketika Blabur Banyumas terjadi, sebagian warga menyelamatkan diri dengan naik ke atas Pendopo Si Panji. Setelah banjir surut, ternyata empat tiang atau saka guru Pendopo Si Panji tidak rusak atau berubah sedikit pun. Hal ini membuat pendopo ini dianggap keramat oleh masyarakat Banyumas.
Eene overstrooming op Java (Suatu banjir di Jawa)
Bencana Blabur Banyumas menjadi peristiwa banjir paling terkenal di Jawa pada tahun 1861 yang menghancurkan kota Banyumas dan menginspirasi lukisan terkenal karya Raden Saleh, seorang seniman Indonesia yang pernah belajar di Eropa.
Lukisan berjudul Eene overstrooming op Java (Suatu banjir di Jawa) adalah salah satu karya masterpiece dari Raden Saleh yang mampu memperlihatkan masing-masing objek secara detail.
Dalam lukisan ini, ia menggambarkan adegan kesengsaraan yang menyentuh, terlihat orang-orang pribumi Jawa yang bertahan hidup dari banjir dahsyat. Digambarkan bagaimana warga di tempat tertinggi tengah duduk dan berdiri berhimpit-himpitan, sementara air terus naik mengejar. Mereka terlihat panik, ketakutan, dan putus asa. Beberapa di antara mereka berusaha menyelamatkan diri dengan berenang, berpegangan pada pohon, atau menaiki rakit dan perahu. Beberapa orang lain terlihat terbawa arus atau tenggelam. Ada juga yang membawa barang-barang berharga, hewan peliharaan, atau anak-anak mereka.
Guratan wajah manusia-manusia yang cemas, berjuang antara hidup dan mati, dimunculkan begitu jelas. Seorang bocah lelaki dengan pandangan penuh ketakutan. Seorang perempuan tua yang memeluk erat putranya yang berenang menuju tempat aman yang itu hanya sementara. Seorang ibu muda yang tergambarkan sedang merenungi keadaan dengan bayi terdekap erat di dada.
Kemudian juga digambarkan warga mengenakan gaya pakaian pada masa itu seperti penggunaan ikat kepala, kain lurik serta para pria memakai lancingan (pakaian bawahan pria dari daerah Banyumas). Disana juga nampak seorang Wedana, kepala desa melambaikan sapu tangan, mengisyaratkan minta pertolongan. Raden Saleh juga memunculkan latar suasana suram yang mencekam. Limbah dan puing berserakan, pohon kelapa tertiup angin kencang, sementara di atas langit tampak mendung gelap pertanda datangnya kematian tak terelakkan.