Soemitro Kolopaking lahir di Papringan, Banyumas pada tanggal 14 Juni 1887. Ayahnya adalah Raden Tumenggung Jayanegara II, seorang bupati yang merupakan keturunan Kanjeng Raden Adipati Dipadiningrat. Walaupun ayahnya seorang Bupati, sejak kecil keseharian Soemitro hidup bersahaja yang ditanamkan kuat sejak kecil oleh keluarganya.
Dalam biografinya Soemitro mengakui:
“Dari kecil mula saya oleh orang tuaku dididik untuk selalu hidup sesederhana mungkin, tidak menghiraukan pangkat-pangkat yang tinggi dan tidak menghiraukan turunan bangsawan. Tidak pula menghiraukan pujian, tidak menghiraukan popularitas yang kosong, partai-partai dan ormas-ormas, dan lainnya bersama-sama Pak Kromo di pedusunan, Mbok Bikah dan Mbok Sarwinem diwarung kecil, serta pedagang-pedagang pasar di desa. Mereka semua itu adalah Saudaraku”.
Dia mengenyam Sekolah Jawa (1893-1896), ELS (1896-1901), Gymnasium Willem III (1901-1907) dan dilanjut sebagai Mahasiswa Indologi di Leiden (1907-1914). Saat menjadi mahasiswa, ia adalah pengurus pertama dari Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang didirikan pada 1908 atas dorongan dari Abendanon dan Casajangan. Ia juga melanglang buana ke berbagai negara untuk mencari tambahan dana kuliah. Pada tahun 1927, ia diangkat menjadi bupati Kabupaten Banjarnegara yang juga mendapat anugrah sebutan Tumenggung Aria, menggantikan ayahnya yang meninggal .
Di tahun 1922, ia bergabung dalam vrijmetselarij (tarekat mason bebas / Freemason) dan memperkenalkannya di Purwokerto dengan mendirikan Loge / Loji Serajoedal (Lembah Serayu) pada tahun 1933 dan Sumitro Kolopaking juga diangkat menjadi menjadi Suhu Agung untuk Loji Agung Indonesia pada 7 April 1955.
Namun pada tanggal 27 Februari 1961, Presiden Soekarno menandatangani UU Komando Tinggi Militer yang melarang organisasi Freemason. Alasan pelarangan ini adalah karena Freemason “memiliki dasar dan sumber yang berasal dari luar Indonesia dan tidak selaras dengan kepribadian nasional”. Keputusan ini diperkuat dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 264 Tahun 1962.
Sebagai seorang Bupati, Soemitro mengalami tiga zaman, yaitu zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia serta menangani langsung Gelora Revolusi Nasional (1945 – 1949). Ia juga memiliki sebutan dari mulai “Gusti Kanjeng Bupati”, lalu “Banjarnegara Ken Cho” dan hingga akhirnya “Bapak Bupati”. Ia dikenal sebagai bupati yang dekat dengan rakyat, sering blusukan ke pelosok, dan membantu pembangunan desa. Ia juga aktif dalam pergerakan nasional, menjadi anggota BPUPKI pada tahun 1945, dan mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soemitro Kolopaking meninggal pada tanggal 23 Oktober 1976 dan dimakamkan di Pemakaman Purbayasa Pucang Kec. Bawang. Di dalam komplek makam Soemitro Kolopaking, terdapat juga makam Tumenggung Joyonegoro I yang memerintah tahun 1878-1896, sebagai Bupati Banjarnegara III. Kemudian terdapat juga makam Tumenggung Joyonegoro II, sebagai Bupati Banjarnegara IV, memerintah tahun 1896-1927. Soemitro Kolopaking meninggalkan warisan berupa karya tulis, antara lain Tjoret-tjoretan Pengalaman Sepandjang Masa, yang berisi memoar dan pemikirannya tentang berbagai hal.