Untuk menorong mitigasi bencana berbasis kearifan lokal, warga diminta menafsir ulang kearifan lokal dan pertanda alam. Apalagi saat ini potensi bencana alam semakin tinggi dan perlu diwaspadai masyarakat.
Hal itu disampaikan Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari beberapa waktu lalu. Menurutnya masyarakat khususnya Banyumas perlu merefleksikan kembali falsafah hidup orang Banyumas yaitu mencari ‘slamet’ selamat.
“Jadi filosofi itu dulu sudah masuk dalam kesadaran pemikiran hingga laku keseharian. Dulu bukan tanah longsor yang sering menjadi bencana utama, melainkan banjir dan gempa bumi. Selain telah ada dalam diri pribadi dan keluarga, kesadaran akan pencarian hidup selamat ini telah ada hingga pemerintah desa,” ungkapnya.
Di masa lampau, kata Kang Tohari, di tiap desa biasanya ada pamong desa yang disebut jagabaya. Jagabaya inilah yang bertugas untuk menjalankan fungsi dari mitigasi bencana di kampung.
“Jagabaya inilah personel aparat desa yang memastikan di tiap wilayah desa akan berjalan aman dari berbagai bencana. Di masa selanjutnya jagabaya inilah yang selanjutnya oleh warga desa disebut sebagai polisi desa,” ujar penulis kondang ini.
Menurut Tohari, ‘ilmu titen’ adalah capaian yang sudah cukup baik di masa itu. Meski seringkali berbalut dengan hal-hal yang berbalut mitologi, namun seringkali ‘ilmu titen’ ini rasional dan logis. Untuk itulah perlu diadakan pengkajian ulang dan penalaran lebih lanjut terkait berbagai ‘ilmu titen’ ini.
“Misalnya di masa lampau, ketika ada hujan deras bercampur petir, orang desa akan menebarkan garam dan nasi ke bubungan atap rumah. Konon hal itu dilaksanakan untuk meredam amarah dari halilintar. Ini sangat mitologis, makanya perlu diadakan penafsiran ulang hingga kajian ilmiah untuk ini,” katanya.
Di masa lampau, orang desa akan waspada dan berusaha mengadakan upaya penyelamatan diri ketika sejumlah pertanda alam muncul di sekitar mereka. Gempa bumi hingga erupsi gunung misalnya, biasanya akan ditandai dengan banyaknya binatang-binatang hutan yang turun ke perkampungan, semut keluar dari sarang seakaan tidak ada hentinya, hingga gonggongan anjing yang tidak henti yang tak jelas sebabnya.
“Belum lagi ketika dulu tsunami di Aceh yang dirasakan hingga Thailand, ada fenomena gajah yang tiba-tiba berlari hingga batas lokasi tsunami terjadi. Ini kan pertanda alam yang menjadi pertanda akan adanya bencana,” katanya.
Makanya menurut Budayawan Banyumas ini, sebagai upaya mitigasi kebencanaan inilah, berbagai kearifan lokal yang pernah ada harus digali, dikaji dan dihidupkan kembali. Pasalnya meski seringkali berbalut dengan mitologi dan hal yang irasional, namun banyak yang ternyata masuk akal. Untuk itulah di tengah keterbatasan pertanda alam yang masih ada, penafsiran terkait pertanda alam ini harus dilakukan ulang.
“Saya kira ini masih relevan dalam hal untuk mitigasi kebencanaan. Angkat kembali kearifan lokal, karena di tengah balutan berbau mitologi, banyak hal yang rasional atau masuk akal. Apalagi filosofi orang Jawa adalah mencari selamat,” jelasnya.(Susanto-)