DENGAN dibantu seorang pekerja, Pupung Pursita tampak sibuk meletakkan lembaran daun pohon Jati pada selembar kain. Ia mengatur letak daun supaya posisinya tepat. Tak jauh darinya, seorang pekerja menyiapkan daun yang akan diletakkan di atas kain tersebut.
Wanita yang tinggal di Jalan Pahlawan Gang III Kelurahan Pasirmuncang Kecamatan Purwokerto Barat ini rupanya tengah membuat kerajinan ecoprint. Ecoprint merupakan teknik cetak yang menggunakan pewarna alami. Prosesnya sederhana karena tidak melibatkan mesin atau cairan kimia.
”Saat ini saya sedang berpacu dengan waktu untuk persiapan pameran di Bali. Kebetulan kami diundang untuk mengikuti kegiatan pameran dalam waktu dekat. Sebelumnya kami juga sudah ikut pameran di Bandung,” terangnya.
Kesibukannya semakin terasa lantaran dalam waktu yang hampir bersamaan pula, ia juga mendapatkan pesanan tote bag dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto untuk kegiatan Festival UMKM dan Ekonomi Syariah Bank Indonesia 2019 eks Karesidenan Banyumas yang berlangsung di Rita Supermall Purwokerto 22-24 November nanti.
”Untuk totebag pesanan dari Bank Indonesia, sekarang sedang dalam proses penjemuran,” ujar dia.
Pupung mengaku baru mulai menekuni usaha ecoprint pada tahun ini. Kemampuannya dalam membuat ecoprint dipelajari sendiri. ”Yang jelas belajar dari mana saja, terkadang dari teman, bahkan juga belajar secara tutorial dari youtube,” terang wanita yang baru tinggal di Purwokerto sekitar empat tahun ini.
Awalnya ia mengaku juga menekuni jenis kerajinan yang lain, seperti clay tepung, baik yang menggunakan tepung dari beras, maizena, hingga tepung tapioka. Kemudian ada pula kerajinan kokoru. Bahkan untuk kerajinan clay tepung pernah diikutkan dalam ajang Kreanova tahun 2017 lalu.
”Namun karena yang sedang ramai sekarang pesanan kerajinan ecoprint, maka saat ini kami lebih fokus ke ecoprint,” terang.
Ecoprint merupakan salah satu kerajinan tekstil yang menggunakan pewarna dari alam. Prinsipnya memberi motif pada kain dengan pewarna alami dan motifnya berupa daun-daunan maupun bunga.
Lebih jauh ia menjelaskan, pada prinsipnya hampir semua daun bisa digunakan sebagai bahan untuk membuat ecoprint. ”Daun Jati, daun Jarak, daun Mahoni, daun mangga, daun Jambu hingga daun paku-pakuan bisa digunakan,” jelasnya.
Kendati demikian, untuk hasil tergantung dari jenis daun dan treathment (perlakuan) yang dilakukan. ”Ada jenis daun yang menyerap ke kain dengan cepat, tetapi ada pula jenis daun yang membutuhkan waktu lama dalam proses penyerapannya,” imbuh dia.
Namun di antara jenis daun yang pernah ia gunakan, jenis daun Jati dinilai yang paling “bandel”, sebab daunnya cenderung mengeluarkan warna dan bentuk yang disertai dengan serat. Jadi tidak semua jenis daun bisa mengeluarkan warna yang bagus.
”Jenis daun kersen juga merupakan salah satu jenis daun yang bandel. Daun ini bisa digunakan pada kain apa saja, tapi yang paling bagus di kain sutera,” tambah dia.
Adapun proses pembuatan ecoprint tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Setidaknya hanya butuh waktu sepekan, sejak proses pembuatan sampai kain siap untuk dipakai.
Langkah pertama kain putih yang akan digunakan direndam selama semalam. Kemudian pada pagi hari dilakukan proses pewarnaan dan diberi daun dengan treathment (perlakuan) tertentu.
Setelah itu kain digulung dan dikukus selama kurang lebih dua jam. Ketika sudah dingin, kain yang digulung itu dibuka dan dilakukan proses pengeringan selama kurang lebih 5-7 hari.
Sesudah itu dilakukan proses fiksasi dan dicuci. Selanjutnya, kain ecoprint tersebut sudah bisa dipakai. Adapun terkait harga, lanjut dia, menyesuaikan bahan dan tingkat kesulitan.
”Kalau untuk jilbab harganya ada yang sekitar Rp 150 ribu. Kalau dalam bentuk kain, jenis kain sutera harganya bisa mencapai Rp 1 juta per buah. Namun ada pula yang harganya Rp 750 ribu,” kata dia.
Dia menuturkan, saat membuat kerajinan ecoprint terkadang muncul kejutan-kejutan yang tidak diduga. ”Dalam tiap lembar kain yang dibuat ecoprint misalnya, ternyata tidak pernah ada hasil yang sama. Kadang-kadang kita inginnya warna yang seperti ini, tetapi setelah dikukus ternyata hasilnya di luar ekspektasi kita,” ujar dia.
Ramah Lingkungan
Oleh karena itu, lanjut dia, ketika mendapatkan pesanan dari dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto untuk membuat tote bag, sejak awal pihaknya memberitahu ke pihak Bank Indonesia kalau hasilnya tidak bisa sama.
Ada sejumlah keunggulan dari kerajinan ecoprint. Di antaranya lebih ramah lingkungan, sebab limbah yang dihasilkan tidak ada. Bahkan limbahnya dibuang di mana saja tidak masalah, sebab aman bagi lingkungan. Dalam kerajinan ecoprint, pewarnanya menggunakan pewarna alami.
”Hanya saja memang warna yang dihasilkan dengan menggunakan teknik ecoprint tidak bisa “ngejreng” (mencolok). Warnanya lebih cenderung soft,” tuturnya.
Saat memulai usaha, ia mengaku melakukan secara sendiri. Namun lantaran permintaan dari waktu ke waktu semakin banyak dan harus mempunyai stok barang, akhirnya ia pun merekrut pekerja untuk membantu.
Dalam menekuni usaha tersebut, pemilik workshop “Rumah Olah Tangan” ini juga menggandeng ibu-ibu di Desa Merden dan Mertasari Kecamatan Purwanegara Kabupaten Banjarnegara untuk diberdayakan dalam pembuatan kerajinan tersebut.
”Sebelumnya kami sosialisasi dulu tentang apa itu ecoprint ke mereka. Selain itu, juga sosialisasi tentang pemberdayaan. Alhamdulillah mereka cepat menangkap dan kebetulan juga di sana potensi alamnya juga mendukung,” kata wanita yang juga mengajar di IAIN Purwokerto ini.
Dalam sebulan terakhir ini, ia memberikan pelatihan bagi ibu-ibu di Desa Merden dan Mertasari. Secara perlahan, sekarang mereka sudah mulai melakukan proses produksi, apalagi sebagian dari mereka ada yang sudah bisa menjahit, sehingga lebih mudah.
”Sekarang pesanan yang masuk, sebagian saya limpahkan ke ibu-ibu di desa tersebut. Lantaran tingkat kesulitannya lebih sedikit bila dibandingkan dengan membatik, mereka lebih mudah mengerjakan. Bahkan kami menargetkan mampu memproduksi 1.000 lembar jilbab dalam sebulan,” jelas dia.
Selain memanfaatkan potensi alam yang ada, terutama berbagai jenis tanaman di desa tersebut, ia juga mendorong bapak-bapak yang ada di desa itu melakukan kegiatan penanaman pohon untuk menjaga kelestarian tanaman.
”Jadi kami tidak hanya memanfaatkan sumber alam yang ada, tetapi juga berupaya untuk tetap menjaga kelestariannya,” terang wanita berkerudung ini.
Dalam merintis usaha dengan memberdayakan ibu-ibu di Desa Merden dan Mertasari tersebut, saat ini ia sudah memiliki tim sendiri. ”Ada yang bertugas pada bagian marketing, ada yang mengurus website dan lain sebagainya,” imbuh dia.
Pihaknya berharap setelah mendapatkan pelatihan, para ibu-ibu tersebut bisa mandiri. ”Kalau sudah bisa mandiri, nanti kami tinggal memasarkan produk yang mereka hasilkan,” kata Pupung.
Tidak hanya itu, ia juga menginginkan ke depan di wilayah desa tersebut bisa terbentuk desa ekowisata. ”Jadi dengan adanya kerajinan ecoprint, diharapkan bisa membuka peluang usaha-usaha yang baru di desa ini, seperti home stay dan lain sebagainya,” ujar dia.
Supaya produk yang dihasilkan tetap banyak permintaan, ia mengaku terus berupaya untuk melakukan inovasi produk. ”Saya selalu berusaha untuk melakukan inovasi, sebab saya itu tipenya mudah bosan,” ujar perempuan yang pernah tinggal di Jakarta ini.
Selama ini pemesan kerajinan ecoprint yang dibuat tidak hanya berasal dari wilayah lokal saja, tetapi hingga ke luar kota atau luar provinsi. Bahkan ada pula pemesan yang berasal dari luar negeri.
”Pemesannya ada yang berasal dari Makasar, Jawa Timur, Bandung, Jakarta dan lain sebagainya. Bahkan saat mengikuti pameran di Bandung, banyak orang Malaysia yang memesan produk kami,” pungkas dia.(Budi Setyawan-37)