PURWOKERTO – Sudah setengah abad Purwokerto dikenal sebagai gudang atlet bulutangkis. Sejak era 1070-an saat Christian Hadinata mengharumkan Indonesia di dunia internasional, sampai dasawarsa sekarang Tontowi Ahmad membuat hatrik juara All England dan terkini merebut emas Olimpiade Brasil 2016.
Setiap tahun, lahir bibit-bibit atlet potensial dari kota keripik, hasil gemblengan klub-klub seperti Kartika, Delta, Bina Taruna, Bina Prestasi, Gelora dan Candra Wijaya Rajawali. Di antara mereka, bannyak yang lolos seleksi masuk klub-klub besar, seperti Djarum, Mutiara, Exist, dan Jaya Raya. Di klub besar itu mereka menjalani proses lanjutan menuju prestasi puncak di tingkat internasional.
Mekanisme yang sudah berjalan puluhan tahun itu menunjukkan start proses mencetak juara dunia dari keinginan anak, didukung orangtua, lalu diproses di klub lokal. Para pelatih di perkumpulan bulutangkis (PB) di Kota Satria itu pantas mendapat apresiasi atas ketekunan, kesabaran dan konsistensi dalam membina bibit pemain. Peran orangtua anak juga sangat besar.
Farida Asriani, salah satu orangtua atlet anggota PB Kartika, Purwokerto, tak sekadar mendukung anaknya berlatih. Dengan latar belakang keilmuan sebagai Kepala Jurusan Teknik Elektro, Unsoed, dia memiliki obsesi berperan lebih besar dalam proses pembinaan. Dia bersama Hesti Susilowati, dan Ganjar Pamudji (ketiganya bergelar ST, MT), lalu memutar otak membuat alat bantu latihan.
Dari hasil kerja keras mereka, terciptalah alat yang diberi nama automatic shadow trainer. Alat itu berfungsi untuk melatih kerja kaki (footwork) atlet, yang dioperasikan secara automatis. Perangkat alat itu meliputi enam buah cone plastik, yang diberi sensor infra merah. Sumber daya alat itu adalah baterai kering / power bank.
Uji Coba
Farida menjelaskan, cara mengoperasikan alat, yakni cone ditempatkan di sudut-sudut lapangan. Lampu di cone menyala secara bergantian dan terpola, sesuai program pelatih. Atlet harus bergerak mendekati cone yang menyala, lalu kembali ke tengah, begitu seterusnya. Karena kemampuan anak berbeda-beda, interval lampu menyala bisa diatur, mulai dari tiga detik, empat dan lima detik, dengan waktu dua menit.
Alat tersebut sudah diuji coba pada latihan atlet PB Kartika, pertama pada Juli, lalu disempurnakan, dicoba lagi Sabtu (19/10). Alat seperti itu belum tersedia di pasaran, jangankan di Indonesia, di luar negeri baru ada di Jepang. Untuk yang di Jepang masih memakai kabel untuk menyambungkan lampu antar-cone. Kalau di rupiahkan Rp 20 juta, belum ongkos kirim dan bea masuk.
”Dalam penciptaan alat ini kami didukung biaya dari Program Pengabdian Masyarakat BLU Unsoed.”
Pelatih PB Kartika, Didit Mardito menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada Farida dan tim Unsoed. Alat tersebut sangat bermanfaat dalam latihan. Dengan alat itu anak mendapat latihan untuk meningkatkan footwork, juga daya tahan, sekaligus konsentrasi. ”Dalam mengatur interval lampu menyala, pelatih melihat kemampuan anak.”
Didit mengaku belum mengetahui sejauh mana pengaruh latihan itu pada peningkatann kemampuan atlet saat bertanding, karena baru diuji coba. Dia yakin alat tersebut sangat bermanfaat bagi pemain. (bd-60).