PURWOKERTO – May Nur Ayni Tasyah (15), terlihat mengernyitkan dahi saat membaca sebuah buku di sebuah sudut sekolah. Murid kelas 9C SMP 5 Purwokerto ini tengah membaca buku berbahasa Banyumasan.
Rupanya ada sejumlah kosakata bahasa Banyumas di buku tersebut yang tidak ia ketahui maksudnya. Dia pun lantas bertanya ke salah satu teman yang berada di sampingnya tentang maksud dari kosakata tersebut. Sebab, perbendaharaan katanya masih terbatas. Meski untuk berinteraksi dengan sesama teman di sekolah maupun di rumah, ia menggunakan bahasa Banyumasan.
Ia mengaku penasaran dengan buku-buku bacaan dengan dialek bahasa Banyumasan. Beruntung rasa penasarannya ini terobati dengan langkah yang dilakukan pihak sekolah untuk menyediakan ruang perpustakaan mini.
Di perpustakaan mini itulah, sejumlah bahan bacaan dengan dialek Banyumasan tersedia. Ada majalah dengan bahasa Banyumas, geguritan (syair) karya salah satu guru seni di sekolah ini, komik strip hingga teka-teki silang (TTS) dengan bahasa Banyumasan.
Cipto Pratomo, salah satu guru seni mengatakan, anak-anak perlu dikenalkan sejak dini dengan bahasa Banyumasan. Walau terlahir di Banyumas, namun kemampuan penguasaan kosakata bahasa ibu ini belum tentu sama seperti orang tua mereka.
“Generasi mereka berbeda dengan generasi orang tuanya, di mana sebagian dari mereka belum tentu menguasai banyak kosakata bahasa Banyumasan. Apalagi bagi mereka yang tinggal di lingkungan perkotaan maupun perumahan yang lebih banyak menggunakan dialek Banyumasan,” ujar guru yang produktif dalam membuat karya geguritan dan komik strip bahasa Banyumasan ini.
Menurutnya, sudah tidak terhitung lagi banyaknya hasil karya geguritan maupun komik strip bahasa Banyumasan yang berhasil ia buat. Sebagian besar karyanya tersebut menggunakan bahasa Banyumasan.
“Selain menggugah para siswa untuk gemar membaca lewat hasil karya geguritan dan komik strip Banyumasan yang dipamerkan, kami juga ingin mengajak mereka untuk ikut melestarikan bahasa Banyumasan. Mereka harus ikut menjaga bahasa ibu ini,” terangnya.
Bahasa Banyumas menjadi ciri khas dari komunitas penduduk di wilayah Banyumas. Bahasa Banyumasan memiliki dialek tersendiri dan intonasinya juga berbeda dengan daerah-daerah lain.
Di samping itu, bahasa Banyumasan memiliki kekuatan atau marwah untuk mengajak masyarakat Banyumas agar memiliki sifat yang cablaka (apa adanya). Bahkan kata-kata dalam bahasa Banyumasan cenderung bersifat cablaka, misalnya kata mangga (silakan), sega (nasi). Penulisan dan pengucapannya memang seperti itu, sehingga apa adanya atau tidak ada yang berbeda. Ini berbeda dengan bahasa dari di daerah lain di Jawa Tengah.
Kepala SMP Negeri 5 Purwokerto, Sugeng Kahana mengatakan, mulai awal September tahun ini, lembaganya membuat sejumlah program untuk mengoptimalkan minat baca bagi peserta didik. Salah satunya dengan menyediakan sarana berupa buku bacaan berbahasa Banyumasan.
“Sarana materi bacaan ini merupakan bagian dari upaya merealisasikan kewajiban setiap sekolah untuk mengajarkan mata pelajaran bahasa Banyumas bagi seluruh peserta didik,” jelas dia.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk mendukung langkah tersebut, pihak sekolah menyulap ruangan sempit yang ada di bawah tangga lantai dua tersebut menjadi sebuah perpustakaan mini.
Selain itu, di ruangan yang tidak begitu luas ini, pihak sekolah juga membuat sebuah papan mading (majalah dinding) mini yang digunakan untuk memajang beragam artikel berita, karya geguritan, serta foto-foto kegiatan siswa sebagai daya tarik mereka agar para siswa merasa betah di ruangan tersebut.
“Kami juga sudah memberikan nama terhadap perpustakaan mini tersebut, yakni “Padon Maca” yang diambil dari bahasa Jawa,” terangnya.
Pihaknya berharap, dengan adanya sarana seperti ini, ke depan bisa menumbuhkembangkan minat baca siswa terhadap segala jenis bacaan yang berbahasa Banyumasan.
“Bagi generasi muda, khususnya peserta didik, belajar bahasa Banyumasan memang sulit. Namun dengan melakukan langkah inovasi, seperti yang dilakukan lembaganya, kemungkinan hasilnya akan lebih nyata,” ungkap dia.(Budi Setyawan-20)