PURWOKERTO – Penulis Banyumas, Nasirin L Sukarta meluncurkan buku cerita bertajuk Jalitheng di Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyumas, Minggu (15/3). Buku jilid pertama ini dinilai memiliki kosakata Banyumasan yang kaya.
Praktisi Sastra Jawa, Jefrianto mengatakan, buku ini salah bentuk karya yang benar-benar unggul. Sebab, secara kualitas karya ini patut diteliti oleh akademisi di bidang sastra Jawa.
“Ini patut dijadikan jalan jalan bagi para peneliti sastra dari luar Banyumas untuk meneliti bahasa Banyumas,” katanya disela peluncuran yang diselenggarakan oleh SIP Publishing Purwokerto.
Jefri, karibnya, menambahkan, Jalitheng menyajikan data dan fakta sejarah Banyumas dengan narasi yang apik. Narasi itu juga kaya dengan kosakata bahasa Banyumasan yang sudah mulai tidak dikenali oleh generasi Banyumas masa kini.
Oleh karena itu, kekayaan narasi itu diharapkan mampu menarik peneliti masuk ke Banyumas. Sebab, hingga saat ini belum ada peneliti bahasa Banyumas dalam wujud karya.
“Sebagai pintu untuk masuknya investor pengetahuan. Karena, yang meneliti bahasa Banyumasan dalam wujud karya itu belum ada. Saya pikir inilah kesempatan karya sastra berbahasa Banyumasan,” tambahnya.
Selain Jefrianto, praktisi sastra Jawa sebagai pembahas buku tersebut, turut terlibat juga Agus Pribadi, penulis kumpulan cerita cekak (pendek) Doresani yang juga sebagai editor naskah Jalitheng untuk ikut mewarnai pembahasan.
“Dalam novel ini, banyak sekali kosa kata yang menunjukkan bahwa bahasa Banyumas tidak kalah ampuhnya dengan bahasa Indonesia, dan bahasa lainnya, jika digunakan untuk menulis karya sastra. Namun, yang cukup memprihatinkan adalah kosa kata yang ada semakin banyak yang lenyap dan tidak digunakan lagi baik oleh orang banyumas sendiri-terutama generasi mudanya, apalagi oleh orang selain banyumas,” jelas Agus.
Tantangan
Dia mencontohkan, yang cukup unik dan nyentrik dalam novel itu sedikit diantaranya ialah, luput-luput katuranggane, srunthul, ngecebres, geyanggaman, ubluk dan latah.
“Naskah ini menurut saya luar biasa, sebagaimana sastra itu lapisannya lengkap, dan tantangannya adalah karena ini bahasa Banyumas itu bahasa yang tidak biasa ditulis sebagai literasi. Kalau saya sebagai pembaca atau orang awam itu berani mengatakan karya ini sebagai tambahan sastrawan setelah Ahmad Tohari yang ada di Banyumas ini, karena selain ingin mengenalkan sejarah Banyumas, justru karya fiksi ini lebih lengkap dan mengena,” pungkasnya.
Penulis Jalitheng, Nasirin menuturkan, buku tersebut bercerita tentang seorang tokoh yang bernama Jalitheng. Cerita ini terinspirasi oleh rasa keinginan yang besar untuk mengulas nilai-nilai kearifan lokal yang telah ditinggalkan oleh generasi muda.
“Saya ingin menceritakan situasi orang Banyumas jaman sekarang, pengenalan kultural edukatif. Kultur sekarang sudah banyak tantangan. Kultur lokal itu hanya ada di keluarga. Nah dengan buku ini kultur-kultur yang ada di kampung-kampung atau keluarga itu dapat diketahui oleh generasi jaman sekarang,” ujar Nasirin.
Dia mengaku tengah menyiapkan seri kedua. Dia akan memasukkan nilai-nilai kultural yang belum termuat pada buku pertama.
Di sela peluncuran buku, Dinarpusarda Banyumas mengampanyekan pencegahan penyebaran virus Korona. Panitia menyediakan sabun serta tempat untuk mencuci tangan. (K35-60)