Perempuan itu duduk ngelangut di teras depan rumah/ Menanti sosok-sosok hangat yang dulu pernah dalam dekapannya/ Wajah setengah pias itu tetap tersenyum/ Dalam lantunan doa tak putusnya/ Agar mutiara-mutiara di hatinya tetap datang/ Agar rumah besarnya kembali berpenghuni, setelah sekian lama ia sendiri//
PENGGALAN bait pertama dan terakhir puisi berjudul “Perempuan di Ujung Senja” bermedio 19 Oktober 2020 itu dibaca dengan mata berkaca-kaca oleh si penulisnya, Jiah Palupi Twihantarti. Ada rasa haru yang begitu dalam saat Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Purbalingga ini berkisah tetang sosok ibu dalam puisinya.
Bagaimana kerinduan seorang ibu yang menyala-nyala pada anak-anaknya yang saat ini telah berkelana di lain tempat. Di masa tuanya, ibu yang ingin ditemani oleh para mutiaranya yang mungkin saat ini sibuk dengan urusan pekerjaan dan keluarganya sendiri.
Puisi itu merupakan satu dari 53 puisi karya 21 perempuan yang tergabung dalam Perempuan Penulis Purbalingga, yang termaktub dalam buku antologi puisi “Kidung Ibu”. Diluncurkan bertepatan dengan perayaan Hari Ibu Tahun 2020 di RM Green Sabin Purbalingga, Selasa (22/12/2020) lalu.
Kelahiran buku puisi itu melalui proses yang tidak terlalu lama. Berawal dari perbincangan sederhana selepas peluncuran Antologi Puisi “Epitaf Tanah Perwira” oleh Komunitas Teater Sastra Perwira (Katasapa) Purbalingga awal Oktober lalu.
(Baca Juga : Katasapa Luncurkan Buku Puisi Epitaf Tanah Perwira)
Para perempuan kontributor puisi dalam buku itu membentuk kelompok sendiri kemudian berinisiatif menerbitkan buku untuk momentum Hari Ibu.
Para penulis dalam buku ini ada yang lahir dan tinggal di Purbalingga, lahir di Purbalingga dan tinggal di kota lain, atau lahir di kota lain dan kini menetap di Purbalingga. Mereka berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang memang sudah berkecimpung di ranah perpuisian Tanah Air seperti penyair Windu Setyaningsih, Nia Samsihono, Tri Widiastuti; penulis puisi muda yang namanya baru muncul seperti Lilian Kiki Triwulan, Lintang Kumala dan Nur Amalia Choerunisa.
Sebagian besar penulis berlatar belakang guru. Sebut saja Anastasia Sri Kartisusanto, Ariyani, Gagat Wahyuni, Heny Nopi Ganeti, Ira Ismatul Hamidah, Isni Widiarti, Lelly Faizatillah, Marti Susanti, Nur Widijanti, Septiningsih, Setyati Listiani, Sri Hartati dan Titi Budi Rahayu. Juga Makhmudah yang notabene pegawai Dinarpus Kabupaten Purbalingga.
Penyair
“Kidung Ibu” menyuarakan berbagai perasaan seorang perempuan. Muai dari kebahagiaan, kesedihan, kepuasan dan kebanggaan terhadap sosok perempuan. Tidak hanya isi hati dari penulis, namun juga melihat sosok lain yang menjadi inspirasi karya mereka.
Misalnya, dalam puisi berjudul “Penjahit” karya Windu Setyaningsih, bagaimana sosok ibu digambarkan sebagai seorang penjahit yang membuat banyak pola dan ukuran. Dalam menjahit yang terus-menerus, dia harus merasakan lelah, ngilu dan sakit, namun tanpa dirasa berat.
ketika ibu menyelinap di balik pintu/ seorang anak bertanya/ sakit apa/ ibu memperlihatkan sekotak jarum bekas yang telah berkarat//
Sosok ibu sebagai pejuang hidup yang luar biasa disebutkan dalam puisi “Srikandi Keluarga (Ibu)” karya Tri Widiastuti, “Bundaku Pejuang Abadi” (Titi Budi Rahayu), “Kidung Ibu” (Nur Widijanti), “Satu Per Empat” (Nur Amaliah Choerunisa), “Perempuan Pembawa Tenong” (Nia Samsihono), “Kegigihan Ibu” (Marti Susanti), “Biyungku” (Makhmudah), “Emakku Guruku” (Lelly Faizatillah), “Simbok” (Heny Nopi Geneti), dan “Perempuan di Kaki Bukit” (Gagat Wahyuni).
Namun, tidak sedikit pula puisi-puisi yang termaktub bercerita tentang curahan hati seorang perempuan perihal cinta yang klise. Misalnya puisi “Di Batas Senja” karya Anastasia Sri Kartisusanto, “Air Mata di Sudut Kenangan” (Lilian Kiki Triwulan), “Kenangan” (Lintang Kumala), “Perempuan Itu Aku” (Septiningsih), dan “Kaulah Puisi Itu” (Sri Hartati).
Antologi Puisi “Kidung Ibu” menjadi salah satu momentum bagi geliat sastra di Kabupaten Purbalingga, terutama para kaum Hawa. Ini sungguh indah. Jadi jangan berhenti di sini saja, setelah ini, esok apa lagi?
Ryan Rachman, pegiat sastra di Purbalingga