Sesuai cerita sejak dulu, tikus itu dipercaya ada penggembalanya. Jadi ketika ada tikus dibunuh maka bisa jadi tikus lainnya semakin menyerang lebih parah. Makanya ada keengganan sejumlah petani untuk memberantas hama tikus.
“Itu cerita yang berkembang sejak dulu dan masih dipercaya oleh sebagian petani. Cerita itu dipercaya lagi ketika ada petani yang mengaku melihat gerombolan ribuan tikus yang menyeberang jalan menuju sawah saat malam hari,” jelasnya Imam (40) warga Dusun Dawuhan, Desa Kranggan, Pekuncen yang turut serta melaksanakan gropyokan tikus di Desa Kranggan, Kecamatan Pekuncen, Jumat (20/9).
Terlepas dari cerita mitos tersebut, sejumlah petani sadar akan pentingnya pengendalian hama tikus ini. Namun karena populasi tikus yang cukup banyak, maka pengendalianpun memakan biaya yang cukup besar. Makanya hal ini juga dinilai tak efektif bagi petani.
“Petani mengeluhkan biaya pengendalian hama yang tinggi. Bayangkan untuk membeli racun, ataupun dengan menggunakan pengemposan belerang. Biayanya tidak sedikit, sementara tak seluruh petani melakukan hal ini. Makanya kami galakkan lagi gropyokan tikus sebagai kearifan lokal petani,” jelas Kepala Desa Kranggan, Romli Haryadi.
Diakui petani, serangan hama tikus terbukti meresahkan dan merugikan petani. Populasi hama tikus yang berkembang cepat, membuat gagal panen selalu menghantui petani. Gagal panen hingga delapan musim tanam seperti yang terjadi persawahan Desa Kranggan menjadi contohnya.
“Demikian mitos yang hingga sekarang masih berkembang dan masih dipercaya petani. Adanya mitos inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjadikan pengendalian hama tikus kurang maksimal,” jelas Saprapto, penyuluh pertanian lapangan, Kecamatan Pekuncen.
Selain faktor mitologi, Saprapto memandang faktor perilaku petani yang enggan melaksanakan tanam serempak hingga pengendalian hama tikus secara massif, serentak dan menyeluruh membuat populasi hama tikus ini sulit terkendali. Akibatnya keberlangsungan populasi hama tikus semakin hari semakin meningkat.
“Ketika suatu tempat telah habis persediaan makanan misalkan ketika sawah panen, maka tikus akan bermigrasi bersama. Makanya keberadaan tanam serentak dan adanya jeda untuk tidak tanam padi sangat diperlukan. Sayang, hal ini tidak konsisten dilaksanakan petani,” ujarnya.
Para penyuluh pertanian juga terus berharap kearifan lokal dan gotong royong petani untuk mengendalikan hama penyakit tanaman di areal pertanian mereka bisa terus dipelihara. Apalagi selain hama tikus, wilayah pertanian khususnya wilayah pinggiran hutan di Kecamatan Pekuncen juga rawan dengan adanya hama babih hutan.
“Kami terus dorong masyarakat untuk memelihara kearifan lokal dalam memberantas hama penyakit tanaman yang ada. Gotong royong dan berbagai cara tradisional yang terlihat kuno, seringkali justru efektif dan ramah lingkungan untuk mengendalikan hama penyakit tanaman,” ujar Kusriyadi, petugas pengamat hama penyakit tanaman Kecamatan Pekuncen, Ajibarang dan Gumelar.(Susanto-)