PURWOKERTO – Kelompok sadar wisata (Pokdarwis) di sebuah wilayah perlu berjejaring dengan unsur pemerintah, pengusaha, akademisi dan media untuk mengembangkan potensinya. Kolaborasi kelima unsur tersebut menjadi kekuatan untuk memberdayakan masyarakat.
Hal itu mengemuka pada Sarasehan Pengembangan Pariwisata Desa dan Ekplorasi Potensinya di Aula Fakultas Ilmu Budaya Unsoed yang digelar Pusat Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata (Puslitbudpar) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman (LPPM Unsoed) Purwokerto dan Fakultas Ilmu Budaya Unsoed, di Aula kampus setempat, Kamis (5/12). Dialog tersebut dihadiri rombongan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabuapten Bangli, Bali.
Kepala Bidang Promosi Disparbud Bangli, I Wayan Merta mengatakan, menjual pariwisata tak semudah menjual cabai. Untuk mempromosikan pariwisata, selain pengembangan destinasi dan membina Pokdarwis mereka juga membutuhkan promosi melalui media massa dan media sosial.
“Kolaborasi dengan pokdarwis seperti contohnya pendampingan untuk menyelesaikan beberapa persoalan. Saat tak ada pengunjung, Pokdarwis kami minta bersabar. Kalau ramai pun jadi masalah, karena sampah plastik yang dibawa wisatawan juga semakin banyak,” ujarnya.
Menurut dia, Gubernur Bali memiliki kebijakan untuk melarang swalayan dan toko modern memberikan kantong plastik kepada pembeli. Hal itu bertujuan untuk menekan produksi sampah.
Tak seperti wilayah di Pulau Dewata lainnya, pariwisata Bangli mengandalkan keindahan alam serta kekuatan budaya masyarakat adat. Bahkan, setiap desa memiliki cerita sendiri yang dihadirkan sebagai suguhan kepada wisatawan.
“Sekarang hampir semua aktif karena diancam. Kalau tidak aktif maka kami coret. Di Bali, desa wisata harus ada potensi, kuliner, budayanya apa, kegiatan masyarakatnya apa. Antara Pokdarwis satu lain kegiatannya tidak boleh sama,” tandasnya.
Menertibkan Pedagang
Sementara itu Ketua Ketua Jejaring Pokdarwis Bangli, Nengah Moneng mengatakan, tak semua desa wisata di Bangli bergantung dengan pemerintah. Contohnya Desa Wisata Penglipuran yang berdiri sejak 2012 secara mandiri.
“Kami sudah ada, baru dua tahun kemudian mendapat SK Desa Wisata. Kami juga membuat aturan untuk menertibkan para pedagang, misalnay warungnya harus menggunakan arsitektur khas lokal, tidak boleh langsung mengajak membeli cinderamata, memakai baju adat, dan tidak boleh menggunakan plastik untuk bungkus oleh-oleh,” ujarnya.
Sementara itu, Kasi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pariwisata Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, Bahrudin mengatakan, upaya untuk menggabungkan kelima unsur tersebut sudah mulai terlihat.
“Kami sudah mulai berjejaring dengan stakeholder seperti Aliansi Pariwisata Banyumas, dan teman-teman media,” katanya.Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata (Puslitbudpar) LPPM Unsoed, Imam Suhardi mengatakan, selain bertukar pikiran, dialog ini menjadi rintisan untuk memetakan potensi dan persoalan yang dihadapi Pokdarwis di Banyumas.
“Saat ini kami membutuhkan data, baik Pokdarwis maupun desa wisata di Banyumas yang aktif. Untuk bahan penelitian selanjutnya. Jadi ini sebagai awal pemetaan,” katanya. (K35-52)
Diskusi tentang artikel