PURWOKERTO – Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Banyumas sampai saat ini belum membicarakan lagi rencana penutupan rumah pemotongan hewan (RPH) Ajibarang. Penutupan semula direncanakan tahun 2018 lalu, namun akhirnya diputuskan ditunda, karena ada protes warga sekitar dan anggota DPRD.
Kabid Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sulistiono mengatakan, untuk RPH Ajibarang sekarang
tidak ada pembicaraan lagi untuk ditutup. Rencana penutupan itu pada tahun 2018 lalu, namun ditunda karena waktu itu ada permintaan dari anggota DPRD dan penduduk sekitar.
“Kalau dulu memang ada rencana penutupan, tapi ditunda, dan sekarang tidak ada lagi pembicaraan untuk ditutup,” katanya mengklarifikasi, Sabtu lalu.
Dia menegaskan, ditunda bukan berarti sekarang untuk ditutup. Sehingga rencana penutupan belum ada kepastian lagi. Pihaknya mendapatkan protes kembali karena informasi yang sampai ke mereka menganggap dinas sekarang mau menutup.
“Di dinas dan pemkab tidak ada rapat-rapat untuk rencana penutupan. Saat ini belum berfikir ke situ, entah kapan kalau mau ada rencana penutupan nanti kan ada rapat-rapat dulu. Jadi RPH Ajibarang ya tetap berjalan seperti biasa,” tandasnya.
RPH Ilegal
Disinggung sepinya pemotongan hewan di RPH Wangon dan Cilongok, kata dia, karena pemotongan kebanyakan dilakukan di rumah-rumah atau RPH ilegal. Itu berlangsung sejak ada pelarangan pemotongan sapi betina oleh pemerintah.
“Kita rencana 2020 mau koordinasi dengan pihak kepolisian untuk menertibkan, agar mereka kembali memotongkan di RPH. Kalau di potong di rumah kan kondisi kesehatan hewannya tak terpantau, kalau di RPH ada dokter hewannya,” jelasnya.
Menurutnya, mereka yang memotong sapi di rumah, karena diketahui memotong sapi betina. Karena kalau memotong di RPH ditolak karena ada larangan dari pemerintah. Seharusnya para penjual daging sapi beralih ke sapi jantan. Namun hal itu tidak banyak dilakukan.
“Kalau motong sapi jantan ukuran besar atau bobot 500 kg, ya untung jantan. Kebanyakan mereka kan motongnya sapi yang kecil-kecil, jadi memilih memotong betina. Kalau motong yang besar, bagi penjual daging sehari tidak habis,” ceritanya.
Dia menyebut, dari pendataan, RPH ilegal yang motong sapi di rumah-rumah, di Banyumas ada tujuh titik. Rata-rata di setiap RPH milik pemkab, ada pemotongan di rumah. Bahkan, diakui, di Ajibarang ada yang terang-terangan membuat RPH sendiri (swasta).
“Paling banyak di Sokaraja dan Kembaran, karena ada juru jagalnya di sana. Di Wangon juga ada,” katanya.
Pihaknya pernah membujuk untuk kembali memotong di RPH. Namun mereka tidak mau. Jika
ditertibkan, diakui, waktu itu mengalami kesulitan, karena sanksinya hanya dicabut izin jagalnya (usaha).
“Rata-rata izin usahanya (penjagalan) sudah kadaluarsa. Kalau ada sanksi pidananya mungkin lebih efektif. Kalau nanti kita gandeng dengan kepolisian, disosialisasikan lagi bahwa motong di rumah itu juga bisa melanggar pidana, karena terkait dengan UU perlindungan konsumen.” terangnya.
Untuk RPH Purwokerto Barat, kata dia, ini mau ditutup karena tenaganya atau tukang jagal hanya satu dan warga yang memotongkan hewan hanya dua orang saja.
“Tenaganya kita tarik ke RPH Tambaksari, karena tenaganya kurang. Di sana sehari sampai 15 ekor sapi yang dipotong,” jelasnya. (G22-17)