PAGI itu suara lempengan aluminium yang dipukul, terdengar cukup keras di sebuah ruangan samping rumah milik Ahmad Kudari (69), warga yang tinggal di RW 03 Kelurahan Pasir Kidul Kecamatan Purwokerto Barat Kabupaten Banyumas.
Di ruangan tak begitu luas ini terdapat tiga pekerja yang tengah menyelesaikan pekerjaan membuat sejumlah peralatan dapur. Setiap hari ruangan itu digunakan oleh Ahmad Kudari sebagai pabrik pembuatan perkakas dapur.
Di antara mereka yang ada di ruangan itu, sebagian ada yang mengoperasikan alat pemotong lembaran aluminium, ada pula yang melakukan proses pencetakan dan membuat pola. Ahmad Kudari sendiri terlihat sibuk merapikan produk kerajinan perkakas dapur yang sudah selesai dibuat.
Di sela-sela aktivitasnya tersebut, datang seorang wanita paruh baya yang hendak memesan sebuah cetakan kue. “Pak apa bisa saya dibuatkan cetakan kue seperti ini?,” tanya perempuan itu sambil menunjukkan contoh cetakan kue yang dipesan.
“Ya bisa saja, tapi jadinya tidak hari ini ya? Kira-kira 10 hari lagi baru bisa jadi,” kata Ahmad Kudari.
Setelah perempuan itu sepakat, ia pun langsung meminta salah satu pekerjanya untuk segera mengerjakan sesuai permintaan wanita tersebut.
Melayani permintaan sesuai dengan keinginan pemesan merupakan salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan usahanya. Banyak jenis perkakas dapur yang mampu dibuat oleh lelaki kelahiran tahun 1950 tersebut.
Di antaranya dandang, panci, wajan, sorok, irus, soled, cetakan kue, ceret dan sejumlah perkakas dapur lainnya.
Seluruh peralatan tersebut dibuat dengan menggunakan bahan aluminium. Ia mengaku belajar sendiri dan sudah berjalan turun temurun. Ahmad Kudari boleh dibilang satu-satunya perajin peralatan rumah tangga di wilayah tersebut yang paling senior.
“Boleh dikatakan saya itu yang mengawali usaha pembuatan kerajinan peralatan dapur di wilayah Pasir Kidul,” ungkap pria berusia lanjut yang masih terlihat perkasa tersebut.
Meski usianya sudah tidak lagi muda, namun ia mengaku masih terjun langsung dalam proses produksi. Demikian pula dalam pemasaran, tak jarang ia melakukan sendiri. “Saya sudah terbiasa mengirim pesanan barang ke sejumlah daerah. Misalnya ke Sidareja, Majenang, Cilacap, Tegal atau Banjarnegara, biasanya saya sendiri yang mengantar karena pemesannya tidak bisa ke sini,” jelas dia.
Kemampuannya dalam membuat kerajinan perkakas dapur tidak datang begitu saja. Namun dilakukan dengan penuh perjuangan, kerja keras dan belajar secara terus menerus. Saat awal memulai usaha, ia hanya melayani perbaikan perkakas dapur yang terbuat dari aluminium milik tetangga yang rusak.
Lantaran mampu memperbaiki, ia pun kemudian berinisiatif untuk mencoba memproduksi sendiri. “Kali pertama saya membuat dandang, ceret dan kendil. Itu sekitar tahun 1974 saya mulai menekuninya,” ujar bapak dengan enam anak ini.
Secara perlahan, usahanya semakin berkembang. Banyak permintaan yang datang. Tidak hanya dari wilayah Banyumas, tetapi juga di luar Banyumas. “Selain memenuhi permintaan pasar dari Cilacap, Tegal, Banjarnegara, selama ini saya juga menerima pesanan dari Semarang. Kalau yang jauh biasanya memesan dalam jumlah banyak dan diambil sendiri oleh pemesannya,” terang dia.
Terkait dengan harga jual, dia mengaku menyesuaikan dengan harga bahan baku dan tingkat kesulitan dalam proses pembuatannya. Misalnya untuk satu buah irus, harganya sekitar Rp 5 ribu.
Kemudian sorok sekitar Rp 10 ribu per buah, solet Rp 2.500 per buah. Kalau harga dandang tergantung ukuran dan tebal bahan aluminium yang digunakan, termasuk pula wajan.
“Kalau wajan untuk rumah tangga harganya berkisar Rp 100 ribu per buah, tergantung ukuran. Sedangkan harga dandang bisa mencapai Rp 750 ribu per buah. Itu juga tergantung dari ukuran,” ujar dia.
Selama ini untuk kebutuhan bahan baku, ia mengambil dari pengepul aluminium bekas atau daur ulang. “Kalau menggunakan bahan baku aluminium bekas, dari pengepul harganya sekitar Rp 30 ribu/kg, tergantung kualitas bahan. Kalau kualitasnya rendah, biasanya harga kurang dari harga itu,” tambah dia.
Sedangkan untuk harga bahan baku aluminium yang masih baru dan biasanya dibeli dari toko, harganya jauh lebih mahal. “Misalnya untuk lempengan aluminium ukuran 1 mm, harganya bisa mencapai Rp 300 ribu per lembar. Bahan baku ini biasanya digunakan untuk membuat wajan penggorengan,” ungkap dia.
Selain bahan baku aluminium, Ahmad Kudari juga menggunakan bahan baku kayu yang dipakai untuk pegangan peralatan dapur, seperti sorok dan solet. Untuk kayu pegangan sorok dan solet, ia mengaku lebih pilih memesan dari luar.
Jika membuat sendiri, selain menambah biaya pengeluaran, juga demi alasan keamanan. “Sebenarnya untuk kayu pegangan sorok dan solet, dulu saya membuat sendiri dengan menggunakan mesin.
Tapi suatu ketika saya mengalami kecelakaan kerja. Jari tangan saya pernah terluka terkena mesin pemotong kayu, sehingga saya putuskan untuk pesan dari luar saja agar lebih aman,” tambahnya.
Dalam proses pembuatan peralatan dapur tersebut, peralatan yang digunakan terbilang masih sederhana. Selama ini ada beberapa alat pemotong dan pencetak yang digunakan dalam proses produksi.
“Kalau boleh jujur sebenarnya alat-alat itu sudah termasuk ketinggalan. Mestinya sekarang menggunakan alat-alat yang sudah menggunakan sistem hidrolik,” paparnya.
Selain Ahmad Kudari, di wilayah RW 03 Kelurahan Pasir Kidul terdapat belasan perajin perkakas dapur. Salah satunya Yoto (40), pria yang sudah menekuni kerajinan tersebut sejak sekitar sepuluh tahun silam.
Menurut Yoto, hampir sebagian besar perajin peralatan dapur yang ada di wilayah ini menggunakan bahan baku daur ulang. Namun ketika bahan baku daur ulang tidak ada, mereka membeli bahan baku yang masih baru.
Tak jauh berbeda dengan Ahmad Kudari, wilayah pemasarannya selama ini juga di sekitar wilayah Jawa Tengah. “Kadang dijual ke Gombong, Sidareja, Purbalingga dan sekitarnya. Biasanya barang-barang ini dijual di pasar-pasar tradisional,” ujar dia.
Meski proses pembuatannya terbilang masih sederhana, namun produk yang dihasilkannya berani bersaing dengan produk-produk dari pabrik. Bahkan produk perajin Pasir Kidul memiliki keunggulan bila dibandingkan produk dari pabrik.
Hal ini yang membuat kerajinan peralatan dapur dari Pasir Kidul mampu bertahan di tengah persaingan yang sengit dengan produk pabrik. “Salah satu keunggulan produk kami adalah adanya “kracak” (motif) yang tidak ada dalam produk buatan pabrik,” terang dia.
Proses pembuatan “kracak” (motif) tidak bisa dilakukan dengan menggunakan mesin. Prosesnya harus menggunakan tangan langsung. Caranya bagian sisi dari aluminium tersebut dipukul dengan menggunakan alat pemukul, sehingga membentuk sebuah motif.
“Dalam memukul, alur pukulannya juga harus teratur dan itu membutuhkan keterampilan khusus,” tuturnya.
Sementara Staf Administasi Pemerintah Kelurahan Pasir Kidul Kecamatan Purwokerto Barat, Ali Rois mengatakan, selama ini di wilayah Pasir Kidul terdapat sejumlah perajin atau pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dengan produknya sendiri-sendiri.
Misalnya di wilayah RW 01 selama ini dikenal sebagai sentra perajin bandol, wilayah RW 05 sebagai sentra perajin kemasan (kerajinan emas), sedangkan di wilayah RW 03 dikenal sebagai sentra perajin peralatan dapur dan lencana. (Budi Setyawan-20)