PURWOKERTO– Sebagian aset tanah milik Yayasan Putera Harapan Banyumas (YPHB), pengelola lembaga pendidikan Sekolah Putera Harapan (Puhua) Purwokerto dipersoalkan oleh mantan pendiri Yayasan Pengusaha Banyumas.
Mereka adalah Evelin Tjiong dan Cipto Waluyo, warga Purwokerto yang mengaku masih sebagai bagian dari pendiri Yayasan Pengusaha Banyumas, cikal bakal lahirnya Yayasan Putera Harapan Banyumas. Mereka berdua mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Purwokerto.
Dalam sidang, Senin (9/3), untuk tahap pembuktian, majelis hakim diketuai Budi Setiawan dengan anggota Deny Ikhwan dan Novi Ermawati, memberikan kesempatan untuk mediasi para pihak lebih dulu, namun mediasi gagal.
Kuasa hukum Yayasan Pengusaha Banyumas, Paulus Gunadi mengatakan, kedua kliennya mengugat perbuatan melawan hukum terhadap tujuh pengurus Yayasan Putera Harapan Banyumas, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Banyumas, dan notaris.
Gugatan ini, katanya berkaitan kepemilikan sebagian aset tanah yang sebelumnya atas nama Yayasan Pengusaha Banyumas beralih ke atas nama Yayasan Harapan Banyumas. Bidang tanah yang dipersoalkan seluas 994 meter persegi.
“Kami menggugat untuk mempertayakan apa dasar hukum kepimilikan tanah tersebut oleh Yayasan Putera Harapan Banyumas. Setifikat tanah itu atas nama Yayasan Pengusaha Banyumas, kenapa berubah menjadi atas nama Yayasan Putera Harapan Banyumas,” ujarnya.
Tidak Berdasar
Kuasa Hukum YPHB, Aan Rohaeni mengatakan, gugatan tersebut dianggap tidak berdasar dan tidak memiliki legal standing karena Yayasan Pengusaha Banyumas sudah dibubarkan. Tujuh pendiri kemudian merubah menjadi Yayasan Putera Harapan Banyumas. Begitu pula, nama sertifikat di bidang tanah yang dipersoalkan juga sudah berubah nama ke yayasan baru tersebut.
“Pembelian aset tanah itu merupakan hasil merupakan uang sisa hasil iuran kegiatan reuni siswa sekolah Tionghoa tahun 1995 dan bunga dari uang arisan. Alumninya hampir semua pengusaha Banyumas, warga keturunan. Awalnya, bernama Paguyuban Pengusaha Banyumas.
Menurutnya, Yayasan Pengusaha Banyumas tahun 2009, sudah dibubarkan atau aktanya dibatlkan semua atau diblokir. Namun tahun 2019, pihak pengugat menghidupkan kembali yayasan yang sudah dibubarkan.
“Menghidupkan kembali yayasan yang sudah dibubarkan, kan syaratnya harus disetujui para pendiri. Padahal tujuh pendiri yang sepakat merubah Yayasan Pengusaha Banyumas menjadi Yayasan Putera Harapan Banyumas tidak merasa melakukan persetujuan,” katanya.
Adanya gugatan tersebut, kata dia, penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Puhua tetap berjalan seperti biasa, karena yang dipersoalkan bukan sekolahnya, namun sebagian aset bidang tanah saja. (G22-)