Suatu hari Erin Cipta (40) penulis, penggerak literasi sekaligus mantan buruh migran asal Desa Karangjati, Kecamatan Sampang, Cilacap baru menyadari anaknya telah mahir menyanyikan lagu Korea. Padahal anaknya tak pernah terlihat belajar khusus apalagi diajari olehnya. Namun kekuatan internet, membuat rumah yang setiap hari menjadi markas interaksi buku dan anak-anak itupun bisa tertembus.
“Ternyata anak saya suka K-Pop karena interaksinya dengan internet lewat gadget. Maka sayapun terdorong untuk tahu dan mencari tahu tentang itu meski tertatih-tatih belajar agar saya tetap bisa mendampingi dan mengawasi mereka,” ujar perempuan penerima Penghargaan Merit Award di Taiwan Literature Award for Migrant 2014 dan 2015 saat menjadi buruh migran di Taiwan.
Beruntung, paparan pengaruh internet di rumah Erin Cipta ini masih terbilang wajar. Ia tak bisa membayangkan betapa menderitanya orang tua yang anaknya telah terpapar dampak buruk internet, baik dari sisi kesehatan fisik, mental hingga paparan paham radikalisme.
Terkait hal itulah, Erin menilai budaya melek buku dan literasi digital sangat penting di lingkungan keluarga. Sebagai ‘sekolah pertama’ anak-anak, keluarga tak bisa membendung kekuatan internet untuk diakses anak-anak. Melek teknologi informasi menjadi bekal bagi orang tua sebagai ‘guru pertama’ dan pendamping anak-anak di lingkungan keluarga.
“Jangan melarang anak untuk tidak memakai gadget, tapi batasi penggunaanya dengan kompromi dan komunikasi yang intens dengan mereka. Literasi digital sangat penting untuk ‘parental control’ atau pengawasan orang tua kepada anak,” jelas perempuan yang tergabung dalam Pustaka Bergerak Indonesia (PBI), jejaring komunitas pegiat literasi nasional yang intens mengkampanyekan literasi dan mengirim buku ke berbagai wilayah nusantara.
Keluarga harus mengetahui tahapan mengelola informasi yang cocok untuk anak. Penggunaan aplikasi pembatasan akses konten internet menjadi salah satu upaya anak bisa mengakses konten yang layak dan tepat untuk seusia mereka. Namun yang paling penting adalah komunikasi yang intens dari orang tua kepada anak.
“Batasi penggunaan gadget melalui kompromi dibangun dengan komunikasi dan pendampingan. Tunjukan kepada mereka yang boleh mereka tonton. Tapi jangan katakan apa yang tidak boleh untuk anak, karena itu berarti justru menunjukkan hal itu kepada mereka,” ujar ibu dari Elok (13) dan
Embun (10) ini.
Tantangan orang tua menghadapi era tsunami informasi memang besar. Apalagi daya belajar anak untuk memanfaatkan internet cukup cepat. Tsunami informasi yang menampung berbagai hal baik buruk informasi juga tak bisa dibendung dan setiap saat bisa dikonsumsi siapapun. Makanya pendampingan orang tua sangat penting untuk mengarakan dan mendorong pemanfaatan teknologi komunikasi dan informatika ini untuk anak secara positif.
“Anak sekarang sudah semakin mahir menggunakan internet. Anak saya saja, ketika akan menghadapi ujian akhir sekolah ia sudah bisa mencari sendiri situs semacam ruangguru atau lainnya sebagai bagian pembelajaran akademik,” ujar penulis novel Carlos ini.
Dengan intensitas komunikasi dan pendampingan dari orang tua, segala aktivitas anak dalam menggunakan gadget akan terpantau. Komunikasi literasi digital ini bisa dimulai dengan memberikan arahan kepada anak, mendengarkan anak tentang apa yang diakses hingga mendiskusikan berbagai hal bersama anak.
“Jadi dengan saling mendengar, membaca dan memahami, orang tua dan anak akan saling terhubung dan beriteraksi. Jangan sampai melepas komunikasi dengan anak-anak. Karena dengan itu, kita bisa mengerti dan memahami apa yang mereka cari,” kata perempuan penggerak Gerakan Masyarakat Sadar Baca dan Sastra wilayah Cilacap ini.
Dikelilingi Buku
Selain membudayakan literasi digital di lingkungan keluarga, Erin tetap memandang penting literasi baca tulis secara fisik. Untuk itulah, ia terus menciptakan lingkungan dengan iklim literasi yang baik. Keteladanan dan peran aktif orang tua sebagai guru dan sahabat bagi anak-anak juga harus terus dilaksanakan.
“Kami di rumah, membiasakan anak-anak untuk selalu dikelilingi oleh buku-buku. Ketika bepergian, oleh-oleh wajibnya adalah buku yang sesuai dengan usia mereka. Jadi ciptakan agar mereka tidak lari dari buku,” ujar perempuan yang pernah bekerja dua tahun sebagai perawat lansia di Taiwan dan menyelakan diri untuk membaca dan menulis buku.
Bagi Erin, buku dan bacaan yang jelas sumber referensinya dinilai cukup penting bagi anak-anak. Apalagi seluruh informasi, pengetahuan dan pengamalan di tengah tsunami informasi di jagat maya tak seluruhnya terverifikasi dan terakurasi dengan jelas. Makanya keberadaan literasi baca tulis di tengah keluarga melalui buku juga cukup penting.
“Makanya membaca buku juga tetap penting. Sementara kita juga harus pandai mengelola informasi dari dunia maya apalagi media sosial. Untuk itulah, literasi buku dan digital sangat penting untuk menjaga kewarasan dan kepekaan keluarga dan generasi penerus kita,” ujar pengajar ekstrakulikuler Kelas Literasi dan Pengembangan Diri di sejumlah sekolah di Cilacap ini. (Susanto-)