Di era disrupsi yang ditandai perkembangan pesat teknologi informasi telah merubah banyak tatanan sosial budaya. Dalam konteks sastra, dengan mudah karya sastra dicari, diproduksi dan dinikmati oleh siapapun dan kapanpun sesuai selera masing-masing. Hal ini sekaligus menjadi peluang perkembangan sastra sekaligus tantangan memproduksi karya berkualitas.
Akademisi sekaligus kritikus sastra asal Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Teguh Trinton menegaskan disrupsi telah melahirkan karya sastra yang populer, milenial hingga distribusinya ke masyarakat. Akibatnya hal ini berpengaruh pada luntur dan lenturnya ukuran-ukuran estetika seni sastra.
“Era ini telah membaurkan sastra yang serius dengan ‘kitch’, antara yang kanon dan populer. Di era ini, seseorang dengan mudah menerbitkan buku sastra tanpa melalui tahap penyuntingan dan kurasi yang ketat. Produksi buku sastrapun bisa lebih cepat dengan biaya murah,” kata Teguh Trianton.
Ironisnya, kata Trianton jamak terjadi karena ingin disebut penulis untuk memenuhi kebutuhan angka kredit tertentu, seorang guru mencetak buku sastra dengan jumlah amat terbatas. Dengan kemudahan teknologi digital terutama gawai, seseorang juga bisa menulis dan memproduksi langsung karya sastra dan didistribusikan sendiri ke khalayak ramai dengan basis aplikasi, website dan sebagainya.
“Inilah fenomena yang disebut ‘Mendadak Sastra’ di mana dengan kemudahan yang ada semua bisa menjadi sastrawan dengan segera, tanpa harus melewati proses kurasi ataupun persaingan di media massa dan sebagainya. Sayangnya dengan inilah, seringkali sastra kehilangan ukuran estetiknya,” jelasnya.
Terkait hal itulah menurut Trianton, upaya kanonisasi sastra termasuk sastra di Banyumas perlu dilaksanakan. Pemerinth melalui dinas dan lembaga kompeten, bersama pra seniman, sastrwan dan budayawan dan pendidik hrus bisa dudduk bersama memutuskan ukuran-ukuran sastra kanon sesuai kebutuhan dunia pendidikan di Banyumas. “Sastra kanon ini adalah sastra yang mencerminkan realitas dan nilai budaya setempt yang selrs denga pengetahuan dan pertumbuhan pembaca,” tegasnya.
Upaya mendorong kelahiran para penulis yang berkualitas juga terus dilaksanakan berbagai pihak termasuk dari pihak media massa. Meski demikian seringkali para pegiat media juga mengalami dilema dan kendala untuk mendorong kanonisasi sastra khususnya di wilayah Banyumas.
Redaktur budaya koran lokal di Banyumas, Jarot C Setyoko menyatakan karena faktor finansial di media massa, rubrik budaya . terancam terhenti keberlangsungannya. Untuk itulah para pihak yang peduli dengan perkembangan sastra inilah, harus rela berkorban pikiran tenaga bahkan material untuk bisa menghidupi sarana media yang bisa menjadi tolok ukur kualitas karya sastra.
“Sastra koran itu terkadang bisa menjadi suatu regim. Banyak hal yang tak terlihat di balik meja redaksi sebelum ada karya sastra bisa muncul di media. Termasuk soal batasan ‘space’ dan faktor teknis lainnya,” ujar Jarot.
Munculnya komunitas-komunitas sastra di Banyumas juga diapresiasi berbagai pihak. Apalagi komunitas-komunitas ini menjadi bagian penempaan diri untuk bersaing secara sehat dalam lahirnya sastra yang berkualitas. Untuk itulah dukungan dari berbagai pihak termasuk pemerintah, pemerhati budaya dan sebagainya sangat diperlukan.
“Kami mendorong agar generasi muda bisa kembali mencintai sastra. Karena saya yakin dengan sastra, bahasa ibu juga bisa dilestarikan. Peran pendidik juga sangat diperlukan untuk memasyarakatkan sastra terutama di kalangan generasi muda,” jelas Wanto Tirta yang akrab dipanggil Presiden Geguritan Banyumas.(Susanto-)