Di wilayah Banyumas Raya yang meliputi Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap, terdapat jejak-jejak peninggalan kejayaan masa kolonial. Beberapa waktu lalu, pegiat komunitas Banjoemas History Heritage Community (BHHC) berusaha menelusuri jejak-jejak masa penjajahan Belanda.
Jejak Kejayaan Pabrik Gula di Banjarnegara
Perjalanan dimulai dari Pabrik Gula Klampok di Kecamatan Purwareja Klampok, Kabupaten Banjarnegara. Di wilayah kecamatan ini ditemukan sebuah pekuburan dekat bekas suikerfabriek (pabrik gula) Klampok.
Pemakaman itu nampak tak terawat. Semak belukar dan rumput setinggi betis menutup seluruh bagian cungkup berbahan marmer. Nama-nama di nisan mulai lenyap termakan kerak lumut.
Tak banyak yang bisa dibaca dari kherkof (makam) Belanda di Klampok. Namun, jejak kolonial masih bisa terbaca di beberapa peninggalan yang berada di kawasan tersebut.
“Dulu, di sekitar sini banyak bekas rel Perusahaan Kereta Uap Lembah Serayu atau Serajoedal Stoomtram Maaatschappij (SDS). Tapi sudah banyak yang tertimbun bangunan dan pelebaran jalan. Yang masih bisa dilihat jembatan lori yang berdiri megah,” kata pegiat Banjoemas History Heritage Community (BHHC), Gregory Hadiwono.
Suikerfabriek Klampok tersebut kini difungsikan sebagai Balai Latihan Kerja Pertanian Klampok. Rombongan berkeliling tembok bekas pabrik ini. Dari luar bangunan, kejayaan perkebunan tebu di wilayah Banyumas Raya seakan masih terasa.
Di masa lalu, tutur Gregory, pabrik yang dibangun tahun 1889 ini dipimpin oleh administratur bernama Jacobus Fransiscus de Ruyter de Wildt. Wilayah perkebunan tebunya terbentang mulai dari Kecamatan Purwonegoro, Mandiraja, Klampok, Susukan, Somagede hingga beberapa wilayah selatan Kabupaten Banyumas.
Jaringan rel lori juga dibangun di wilayah Kecamatan Rakit (Banjarnegara), Kecamatan Bukateja, Kemangkon dan Tidu di wilayah Purbalingga untuk memperlancar pengiriman tebu ke pabrik.
Baca : Bangunan Cagar Budaya dan Jejak Kolonial di Banjarnegara
Jejak Kejayaan Pabrik Gula di Purbalingga
Di wilayah Purbalingga, jejak rel lori juga terlihat di Desa Sumilir, Kecamatan Kemangkon Purbalingga. Rombongan berhenti di sebuah jembatan baja yang relnya tertimbun dengan semen. Di bagian bawah rel masih tertera angka ”SCJ 95 SDS” yang menandakan rel tersebut diproduksi tahun 1895.
“Jembatan ini sekarang dimanfaatkan untuk lalu lintas masyarakat. Sayangnya banyak tangan-tangan jahil yang mencoret-coret jembatan lori tersebut,” kata Subarkah Budi, salah satu peserta Jelajah Banjoemas.
Jembatan Klawing, demikian sebutannya, menghubungkan wilayah Kecamatan Kemangkon dan Kalimanah di atas Sungai Klawing. Pada masa lalu, jembatan ini difungsikan untuk mengangkut tebu menuju Suikerfabriek Kalimanah.
Pabrik gula itu sendiri sudah tak berbekas. Konon kabarnya, pabrik ini dibeli oleh empat pihak swasta. Senasib dengan pabrik gula Bojong Purbalingga yang kini berubah menjadi perumahan.
Sedangkan bangunan utama pabrik, berubah menjadi Panti Jompo Budi Dharma Kasih. Pemiliknya Lie Hok Tjan menyumbangkan tanah bekas pabrik itu untuk kegiatan sosial. Pihak keluarga bersepakat mendirikan yayasan tersebut 20 Desember 1988.
“Saya baru masuk sekitar tahun 2006, diminta pemilik sebelumnya Lie Hok Tjan -yang memiliki nama Indonesia Budhi Sudharma- , untuk memimpin di sini. Jadi tidak tahu persis sejarah tempat ini,” kata Kepala Panti Budi Dharma Kasih, Suprapti.
Dalam ingatan dia, sisa bangunan rumah dinas administratur berubah menjadi bangunan SMA Santo Agustinus. Sedangkan bangunan utama pabriknya sudah dirobohkan. Di bagian barat, sudah berubah menjadi penggilingan padi PT Pertani. Sedangkan bangunan lainnya, yang tepat di perbatasan Kota Purbalingga, dibiarkan mangkrak.
Yayasan ini, kata Suprapti, dimodali oleh usaha katering Tiga Ibu. Di masa lalu, usaha kuliner ini sangat populer bagi masyarakat Purwokerto.
Tak banyak informasi yang bisa digali dari Suprapti. Dia hanya menunjukkan foto pemilik beserta istrinya di ruang kantor yayasan tersebut. Bagian paling unik di bagian barat bekas pabrik gula ini adalah bong China yang tidak memiliki dua dewa penjaga.
“Ada beberapa makam kuno warga keturunan yang saya tidak pernah temui di tempat lain. Biasanya ada dewa penjaga, tapi di makam ini tidak ada,” kata pegiat BHHC, Jatmiko Wicaksono.
Penelusuran berlanjut ke Kherkof di Hutan Kota di Kelurahan Bancar, Purbalingga. Pemakaman ini dikelola oleh PT Perhutani sejak tahun 2011. Dibandingkan dengan kuburan di daerah lain, makam tersebut lebih terawat. Beberapa nisan bahkan dibersihkan namanya dan diberi nomor.
“Dari beberapa cerita masyarakat, di makam tersebut dimakamkan seorang guru bernama Gan Tian Khoei. Suatu ketika, guru tersebut menggelar pesta ulang tahun dengan mengundang seluruh siswa. Di perjalanan, siswa tersebut tenggelam. Ada seorang guru dari Amerika yang datang menolong, tapi dia juga ikut tenggelam,” tutur Jatmiko.
Rombongan sempat mampir sebentar di bekas Suikerfabriek Bodjong yang kini sudah berubah menjadi perumahan. Di timur rumah-rumah warga tersebut masih bisa dilihat sisa-sisa pondasi pabrik.
Jejak Kejayaan Pabrik Gula di Banyumas
Wilayah Sokaraja hingga Banyumas, dalam kacamata pecinta sejarah Banyumas pada sekitar tahun 1900 bisa dibilang sebagai kota industri yang maju. Roda perekonomian berputar demikian cepat dibandingkan dengan Purwokerto yang kala itu belum dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa lalu, Sokaraja dan Banyumas adalah “Kota Putih”, kota yang dipenuhi dengan arsitektur yang didominasi cat berwarna putih.
“Setiap hari, berlalu lalang, noni dan tuan-tuan Belanda yang berpakaian putih. Di sini dahulu, banyak bangunan Belanda yang megah dan bercat putih. Sekarang seperti terlupakan,” ujar Tri Muji Lestari, seorang guru sekaligus pecinta sejarah Banyumas.
Di bagian utara rumah tinggal para meneer itu, juga terdapat kampung pecinan -hingga saat ini masih ada-. Salah satunya buktinya adalah sebuah rumah tinggal yang tercatat sebagai benda cagar budaya. Sayangnya, rumah tersebut dibongkar dua tahun silam.
Konon, bangunan yang pernah dipakai menjadi kantor ekspor impor pada awal 1900. Bangunan yang berada di Jalan Gatot Soebroto, Sokaraja ini pernah menjadi kantor NV Ko Lie yang merupakan perusahaan ekspor impor. Kemudian tempat tersebut berubah menjadi tempat tinggal.
Penelusuran kemudian diteruskan di sekitar kawasan suikerfabriek (pabrik gula) Kalibagor yang berstatus sebagai benda diduga cagar budaya.
“Dulu cerobong yang menjadi ciri khas pabrik yang dibangun tahun 1839 ini dibongkar oleh pemiliknya. Tetapi Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) meminta untuk dikembalikan seperti aslinya,” kata pegiat Banjoemas History Heritage Community (BHHC), Jatmiko Wicaksono.
Pabrik ini memiliki jaringan rel kereta terpanjang dan perkebunan yang sangat luas. Pemiliknya Edward Cooke telah meninggal dan dimakamkan dalam komplek pabrik gula.
Jejak Kejayaan Kolonial di Cilacap
Penelusuran jejak masa kejayaan kolonial di wilayah Kabupaten Cilacap dimulai dari Jalan Karang, Cilacap Selatan. Di tempat ini terdapat makam yang sekilas terlihat hanyalah pekuburan warga biasa. Namun, ketika dijelajahi lebih jauh, ternyata terdapat lebih dari 100 kherkof yang masih tersisa.
Beberapa bagian nisan sudah hancur, bahkan hampir roboh. Di pemakaman itu, di Jalan Karang sebelah selatan Kelurahan Cilacap, kurang lebih terdapat 109 makam. Tak jauh dari komplek itu, terdapat bastion (meriam) yang sudah rusak. Moncong meriam tersebut mengarah ke laut Teluk Penyu.
Menurut Suparno (47), juru pelihara makam, beberapa kuburan tersebut saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Selain coretan tangan jahil, juga terdapat cungkup makam yang dijarah oleh pencuri.
“Dulu, marmer makam Assisten Resident ini sempat digondol maling. Tapi untungnya ketahuan. Jadi langsung dikembalikan,” ujarnya.
Dia menyebutkan, warga asing yang dimakamkan, kebanyakan mereka yang dulu bertugas di Benteng Pendem. Tetapi, saat ini, makam tersebut sudah bercampur dengan warga pribumi yang meninggal.
Sepengetahuannya, makam tertua disebutkan bernama Therese Von Lutzow yang tertulis warga Jerman meninggal sejak 1852. Konon katanya pula, salah satu arsitek Benteng Pendem yang bernama C Krabbe disemayamkan di sana, bahkan ada kuburan diduga bajak laut karena ada simbol tengkorak.
Namun, pemerhati sejarah sekaligus pegiat Roemah Toea, Lengkong Sangkar Ginaris membantah hal tersebut. Simbol tengkorak di nisan bukanlah pertanda bajak laut, melainkan lambang kematian.
Dari berbagai informasi yang diketahuinya, Cilacap menjadi kuburan massal bagi warga Belanda. Bukan karena peperangan, melainkan wabah malaria yang mendera. Wabah itu, diketahui sangat ganas hingga mampu menewaskan puluhan orang-orang asing di masa silam.
“Ini juga ada petunjuk, makam assitent resident (Cilacap) M Herz. Di bagian bawah masih tertera pabrik pembuatan marmer makam ini di ”Soerabaia”, kata Lengkong.
Setelah memutari areal makam, perjalanan dilanjutkan ke Kusbatterij Op De Landtong te Tjilatjap atau Benteng Pendem. Benteng yang berada di wilayah Dusun Kebonjati, Kelurahan Cilacap, masih berada dalam satu komplek dengan obyek wisata Pantai Teluk Penyu Cilacap.
Pengunjung yang ingin masuk ke objek wisata yang dikelola oleh Pemkab Cilacap ini dikenai tiket masuk hanya Rp 5.000. Dari sejumlah catatan sejarah menunjukkan bahwa Benteng Pendem merupakan pusat pertahanan.
Menurut Lengkong, cara pembuatan benteng ini dimulai dari membuat bangunan utama lalu ditimbun dengan tanah. Bagian-bagian bangunan pun cukup lengkap, seperti barak, ruang penjara, ruang makam, menginap ruang amunisi serta senjata dan lainnya.
Dia menduga, saat dikuasai oleh Jepang, ada beberapa penambahan baru di benteng tersebut. Contohnya pada tiga buah bastion di selatan benteng yang menggunakan beton cukup tebal. Pasalnya, seluruh bagian benteng di bangunan dengan menggunakan batu bata.
“Benteng ini cukup unik, karena bila dilihat dari foto satelit, berbentuk seperti bintang. Bagian atasnya tertutup tanah. Hanya ada beberapa meriam yang mengarah ke laut Hindia,” ujarnya. [NS]