Sebuah bangunan tua dengan genteng bertuliskan Tan Liok Tjiauw produksi Batavia masih berdiri kokoh di Kelurahan Semarang, Kecamatan Banjarnegara, Kota Banjarnegara, Jawa Tengah. Bangunan yang sekarang digunakan sebagai toko bangunan ini merupakan bekas Stasiun Banjarnegara.
Tahun 1917 silam, di tempat ini orang-orang lalu lalang menanti kereta. Tempat ini juga menjadi saksi ketika para pekerja bumiputera diangkut ke Wonosobo menggunakan gerbong kereta uap.
Penghuni bangunan bekas Stasiun Banjarnegara, Tri Astuti mengatakan, pihaknya sudah menyewa bangunan tersebut selama 24 tahun. Dia tetap mempertahankan bentuk fisik bangunan, termasuk genteng buatan Batavia yang konon menjadi produksi pertama di Jawa.
Menurut Tri, seluruh fisik bangunan dipertahankan untuk menjaga kelestariannya. “Pesannya hanya, kalau nanti mau digunakan, ya harus pindah,” ujar Tri.
Cerita tentang bangunan tua tersebut juga diceritakan oleh Waginem, perempuan paruh baya yang tinggal di depan Stasiun Banjarngera kala itu. Sembari tersenyum, Waginem bercerita sambil mengingat masa kecilnya.
“Dulu di dekat sini ada jurang, cukup dalam. Tapi sekarang sudah ditimbun, ada yang menjadi rumah,” katanya memulai cerita.
Waginem bercerita, dari penuturan kakeknya, Evani, di masa penjajahan Jepang, romusha sering diangkut dengan menggunakan kereta. Tapi entah arah mana yang dituju.
Dia hanya ingat, kala itu stasiun menjadi pemandangan yang cukup mengerikan. Sebab, kereta-kereta itu mengangkut pekerja dari kalangan bumiputera yang sakit borok hingga luka-lukanya ditumbuhi belatung.
“Kakek saya cerita seperti itu. Waktu Belanda ke sini ya biasanya untuk angkut tebu,” ujarnya.
Dalam catatan pegiat Banjoemas History and Heritage Community (BHHC), Stasiun Banjarnegara merupakan stasiun terbesar kedua setelah Stasiun Purwokerto. Jalur rel dibangun oleh perusahaan Serajoedal Stoomtram Matschcapij (SDS)untuk menghubungkan Purwokerto-Klampok-Banjarnegara-Wonosobo.
Menurut Jatmiko Wicaksono, pegiat BHHC, di masa itu, tebu yang ditanam antara Banjarnegara dan Purwonegoro ditarik ke Purwonegoro. Di Purwonegoro ada emplasemen besar tebu Klampok, meski bekasnya tidak ada, bahkan posisinya tidak pernah diketahui.
“Para insinyur Belanda cukup detail membangun rel tersebut. Jalur rel dibuat lebih tinggi daripada tanah dan diurug. Oleh karena itu, apabila melintas di jalan raya Kota Banjarnegara, rel tampak berada di atas dengan beberapa jembatan yang menjulang tinggi,” kata Jatmiko.
Namun sayangnya, bekas jalur rel tersebut mulai hilang. Ada beberapa bukit yang sudah dikepras dan berubah menjadi toko atau bangunan.
“Insinyur SDS ini memang merencanakan pembangunan rel kereta dengan matang. Sampai detail bangunan dan jembatannya juga masih kokoh berdiri,” ujarnya.
Selain jalur kereta api Serajoedal Stoomtram Matschcapij (SDS), di Banjarnegara juga ada gedung Darul Maarif yang ada di pusat Kota Banjarnegara.
Pada masanya, jalur kereta api ini menjadi jalur angkut tebu di kawasan Banjarnegara, sehingga masa itu Indonesia menjadi pengekspor gula terbesar di dunia. Adapun Darul Maarif, merupakan pusat aktivitas pergerakan Syarikat Islam dan bahkan menjadi tempat lahirnya kepanduan pertama di Indonesia.
Baca : Cerita Sumur Mas Banyumas yang Dikenal Keramat
Menurut Mujib dari Komunitas Cagar Budaya Banjarnegara, Banjarnegara memiliki cagar budaya yang cukup lengkap, mulai zaman klasik Hindu-Budha, Islam, kolonial hingga kontemporer.
“Tidak hanya artefak, di Banjarnegara juga menyimpan mentifak, yang harusnya menginspirasi generasi sekarang untuk berbuat hal yang menyejarah,” ujar Mujib. [NS/YS]