SIAPA yang mau jadi penulis, maka harus ‘edan’ (gila, red) membaca. Dengan membaca, maka kita menampung pengetahuan. Semakin banyak bahan bacaan maka akan semakin berbobot tulisan yang dihasilkan penulis.
Demikian ditandaskan budayawan dan sastrawan Ahmad Tohari kepada para hadir dalam acara Peluncuran Buku Sastra Pinggiran yang diselenggarakan Komunitas Orang Pinggiran Indonesia dan Satria Publisher di Balai Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Sabtu (7/3). Tanpa banyak membaca, seorang penulis akan sering merasakan kehabisan ide, bahkan mengalami kemandegan atau buntu saat menulis.
“Tak hanya suka membaca, tetapi harus ‘edan’ membaca apa saja. Baik itu ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya. Semakin kaya dan beragama bahan bacaan maka semakin kaya tulisan yang dihasilkan,” jelasnya.
Menurut Kang Tohari, menulis adalah proses. Maka untuk menjadi penulis memang harus mengenal kata awal yaitu menulis, tetapi jangan sampai mengenal kata akhir. Karena ketika seorang berhenti menulis makan akan berakhirlah riwayatnya.
“Ketika seorang penulis merasa karyanya sempurna maka ini berbahaya. Maka teruslah menulis dan menulis. Jangan lupakan membaca, termasuk karya-karya Pramudya Ananta Toer, yang meski terkenal kiri. Namun karyanya bisa jadi inspirasi,” katanya.
Membebaskan Kegelisahan
Setiap di berbagai kesempatan, ia mengaku sering mendapatkan pertanyaan soal mengapa dan untuk apa menulis. Menurutnya menulis adalah membebaskan diri dari kegelisahan. Konteks kegelisahan itu tergantung siapa, bagaimana dan mengapa ia mengalaminya.
“Misalkan usia SMP, menulis bisa jadi karena ada ketertarikan terhadap lawan jenis. Dengan menulis, maka kegelisahan bisa dialihkan menjadi dalam bentuk teks. Dengan seperti itu makan kegelisahan bisa dibebaskan,” jelasnya.
Terhadap trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Tohari mengaku menulis karena ia merasakan kegelisahan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang saat itu terenggut semena-mena. Peristiwa geger 65 yang terjadi sewaktu ia masih duduk di SMA itu sungguh menghantuinya cukup panjang. Maka untuk membebaskan kegelisahan itulah ia menulis.
“Jadi tak peduli kalau novel itu akan laris atau tidak. Yang penting menulis dulu sehingga kegelisahan kita tersalurkan dalam teks. Jadi kegelisahan itu bisa untuk diri sendiri, orang lain ataupun terhadap nilai-nilai kemanusiaan atau lainnya,” katanya.
Sejak jaman dulu hingga sekarang, perjuangan menjadi penulis memang terbilang cukup berat. Untuk itulah, bagi penulis yang belum mapan, ia menyarankan agar tetap mempunyai pekerjaan utama. Hal ini penting agar energi menulis tetap terjaga dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primernya.
“Saya dulu menulis, saat saya jadi wartawan,” jelasnya yang prihatin dengan meninggalnya sejumlah penyair dan sastrawan seperti Hamsad Rangkuti yang meninggal dalam kondisi kemiskinan.
Karya sastra kata Tohari memang bisa mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk merubah tatanan masyarakat. Banyak karya sastra yang menjadi pengobar revolusi dan inspirasi gerakan penghapus diskriminasi.
“Selain terinspirasi Dataran Tortilla, saya juga kagum novel yang bisa menghapus perbudakan di Amerika yaitu Uncle Tom’s Cabin. Itu hanya beberapa contoh, masih banyak yang lainnya,” paparnya.
Meski demikian Tohari juga menekankan prospek ekonomi menulis saat ini juga terbilang cerah. Ia mencontohkan penulis novel seperti Habiburrohman El Shirzy dan Tere Liye yang berhasil meraup miliaran rupiah dengan menulis buku novel. Iapun berharap estafet kepenulisannya bisa diwariskan dan dijalankan oleh generasi saat ini.
“Saya tunggu karya-karya yang bisa mengguncang Indonesia ataupun dunia,” jelasnya menantang usai menceritakan latar dan proses kreatif cerita pendek Anak Ini Ingin Mengencingi Jakarta dan Mereka Mengeja Larangan Pengemis.(Susanto-)