PURWOKERTO – Menyikapi perbedaan sikap maupun pandangan kritis atas berbagai permasalahan bangsa, tidak perlu dengan tindakan kekerasan,apalagi melakukan tindakan persekusi maupun membenturkan berbagai elemen sipil. Justru hal itu bisa menimbulkan benih konflik dan eskalasi situasi di daerah.
Peristiwa pengrudukan disertai dugaan tindakan persekusi ke aktivis Front Mahasiswa Nasional (FMN) Purwokerto oleh sejumlah massa ormas tertentu, Selasa (1/10), dan sebelumnya juga ada pemeriksaan sejumlah pemuda dan pelajar oleh aparat, justru bisa memperkeruh situasi damai yang sudah berjalan kondusif di Banyumas.
Heri Kristanto, pegiat sosial di Purwokerto mengatakan, persekusi terhadap kegiatan ormas kemahasiswaan adalah tindakan melawan hukum. Hal ini harus diproses secara hukum supaya tidak muncul lagi pembenaran persekusi berikutnya oleh siapa pun atas upaya kritis mahasiswa.
“Mestinya Kapolres, Dandim, Bupati dan pimpinan DPRD berani bersikap tegas agar tiindak terkesan dan persekusi tidak meluas di Banyumas atasnama ikut menjaga situasi kondusif,” katanya, kemarin.
Dia menilai, jika tindakan tersebut dilakukan dengan dalih seolah-olah membela pemerintah atau membela Jokowi yang akan dilantik, juga salah. Rasanya terlalu berlebihan, kata dia, kalau setting itu digerakkan di Banyumas.
“Setahu saya, demo mahasiswa berlangsung damai dan kondusif. Isunya juga bukan bukan menggagalkan pelantikan atau menurunkan Jokowi. Jadi berlebihan jika akhirnya mengorbakan mahasiswa dengan tindakan persekusi,” tandas mantan aktivis tahun 2000 an ini.
Deteksi dini, katanya, mestinya sudah bisa diketahui oleh aparat, sehingga potensi benturan antarelemen sipil bisa dihindari. Bukan setelah timbul kekisruhan, pemerintah dn aparat baru tergerak untuk menyelesaikan.
Jarot Setyoko, politisi PDI-P Banyumas dan mantan aktivis 1988, juga menyatakan tidak sepakat, menyikapi perbedaan sikap politik dan pemikiran dengan tindakan kekerasan maupun persekusi.
“Di ruang komunikasi publik, kalau menyikapi dengan cara-cara pendekatan keamanan dan tindakan kekerasan maupun persekusi, justru malah bisa meningkatkan esklaasi anti pemerintah,” katanya.
Jarot berharap, kepada organisasi, kelompok masyarakat manapun, termasuk organisasi mahasiswa untuk tidak melakukan tindakan dan bahasa yang provokatif, tidak melanggar ketertiban umum, serta tidak melanggar konstitusi negara yang merupakan pagar penjaga demokrasi negara ini.
Masalah Miskomunikasi
Dosen FISIP Unsoed, Tri Wuryaningsih yang terlibat dalam advokasi peristiwa tersebut menilai, masalah tersebut muncul karena mis komunikasi dan cara pandang yang beda dalam menyikapi persoalan.
“Anak-anak dari FMN sudah diperiksa polisi dimintai keterangan, termasuk hari ini (kemarin-red) dari Lowo Ireng juga sudah diperiksa. Pemeriksaan ini terkait dugaan ada tindakan persekusi atau pemukulan. Di materi pemeriksaan juga tidak ada istilah diciduk,” kata doktor ahli sosiologi politik.
Tri Wur mengatakan, tidak ada temuan tindakan pemukulan, termasuk yang ditahan. Sampai Selasa malam, masih terkait untuk dimintai keterangan, karena ada laporan terjadi tindakan persekusi.
“Sebetulnya kemungkinan ini karena mis komunikasi saja. Mahasiswa itu dalam strategi gerakannya dalam menampilkan poster di media sosial, pilihan kata dan bahasa, kan tidak semua orang memahami. Istilah Banyumas Membara, dimata ormas itu dinilai provokatif, dengan alasan Banyumas aman-aman saja,” kisahnya.
Dia menilai, hal itu hanya persoalan beda perspektif atau cara pandang yang berbeda dalam perjuangan Hal seperti itu yang harus dijembati di ruang-ruang publik. Keinginan mahasiswa dan anak-anak muda dalam menyuarakan kepentingan rakyat seperti apa. Sementara ormas-ormas juga memiliki kepentingan untuk ikut menjaga Banyumas dan NKRI.
Dia menegaskan, apa pun dasar dan alasannya, tindakan kekerasan maupun persekusi mestinya tidak menjadi pilihan. Mestinya bisa digunakan melalui jalur-jalur konstitusional dan hukum.
“Di negara hukum kan tidak boleh main hakim sendiri, pakai aturan sendiri. Justru ini juga akan menimbulkan rasa takut di masyarakat, kok ada keributan dan sebagainya. Dan ini juga bukan cara bijak menyelesaikan persoalan,” kata wakil dekan III FISIP Unsoed ini. (G22-20)