BATUR – SMAN 1 Batur menggelar seminar kebencanaan untuk mengoptimalisasi kapasitas kepala sekolah, guru, dan masyarakat pendidikan tanggap bencana. Kegiatan tersebut didukung oleh Politeknik Banjarnegara dan Waku Pro Japan.
Hadir sebagai narasumber antara lain Dr Fujikawa Yoshinori dari Waku Pro Japan dan Direktur Politeknik Banjarnegara Dr Tuswadi.
Kepala SMAN 1 Batur Linovia Karmelita mengatakan, seminar tersebut merupakan salah satu implementasi dari nota kesepakatan kerjasama pendidikan antara SMA N 1 Batur dengan Waku Pro Japan yang telah ditandatanganinya pada 5 Februari lalu di Hijiyama University, Hiroshima, Jepang.
“Salah satu bentuk kerjasamanya adalah pemberangkatan guru atau peneliti tamu ke SMA N 1 Batur. Selama seminggu Dr Fujikawa mengajar dan memberikan seminar di sekolah kami,” katanya.
Dr Fujikawa dalam presentasinya menjelaskan mekanisme terjadinya erupsi gunung api serta langkah-langkah efektif untuk terhindar dari efek merugikan letusan. Di Jepang, peringatan dini terjadinya bencana alam seperti tsunami atau gunung meletus sangat ditaati oleh masyarakat. Mereka langsung mengungsi ke tempat yang lebih aman sebelum segala sesuatunya memburuk.
Dia sempat terkejut ketika melihat sebagian masyarakat Indonesia yang sepertinya tidak takut pada efek erupsi gunung api. Seperti yang terjadi di Yogyakarta saat Gunung Merapi meletus tahun 2010. Dia melihat banyak foto dan video bagaimana anak-anak sekolah di wilayah lereng Merapi tidak takut, malah asyik melihat awan panas yang keluar dari puncak Merapi.
“Bahkan, dalam situasi seperti itu para guru tak terlihat memberikan peringatan kepada peserta didik untuk segera mengungsi, menjauh dari kejaran awan panas. Dan uniknya beberapa orang asyik mengambil foto,” terangnya.
Mobilisasi Rapi
Berbeda dengan di Jepang, lanjutnya, tindakan seperti itu tidak akan terjadi. Mobilisasi masyarakat dalam mengantisipasi dampak bencana alam sangat rapi dengan bekal pembiasaan latihan evakuasi baik melalui sekolah dari PAUD hingga perguruan tinggi serta masyarakat.
Dr Tuswadi dalam paparannya membahas tata cara membangun sekolah aman bencana. Sekolah aman bencana merupakan sekolah yang menerapkan standar sarana dan prasarana serta budaya yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana.
“Sekolah aman bencana merupakan amanat undang-undang sehingga setiap sekolah wajib mengusahakan sarana dan prasarana serta lingkungan yang aman bagi guru dan peserta didiknya,” jelasnya.
Menurutnya, untuk merancang sekolah aman bencana ditentukan oleh faktor struktural dan non-struktural. Faktor struktural antara lain lokasi aman dari bencana, struktur bangunan aman, disain dan penataan kelas aman, dan dukungan sarana serta prasarana aman. Sedangkan non-struktural meliputi peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan warga sekolah, kebijakan sekolah, perencanaan kesiapsiagaan, dan mobilisasi sumberdaya. (K36-52)