PURWOKERTO-Seorang PNS yang melepas jabatannya dan memilih pekerjaan yang ia rintis dari nol, merupakan sebuah keputusan yang tidak mudah.
Namun Mamock Mudi Utomo, pria kelahiran Banyumas, 27 Maret 1964 ini justru melakukan langkah yang tidak biasa bagi sebagian orang tersebut.
Bertempat tinggal di Jalan Prof Dr HR Boenyamin No. 511 RT/RW 04/01 Kelurahan Pabuaran Purwokerto Utara. Mengambil langkah yang tidak biasa.
Ketika mengawali karir di dunia perfilman, modal pertama yang dimiliki pria yang bertempat tinggal di Jalan Prof Dr HR Boenyamin No. 511 RT/RW 04/01 Kelurahan Pabuaran Purwokerto Utara ini adalah niat dan harus istikamah.
Saat menjabat menjadi PNS, ia juga menjadi wartawan di salah satu media cetak di Tabloid Nova Gramedia.
Memilih pensiun setelah 12 tahun bekerja menjadi PNS. Tidak semua orang mau melakukannya, apalagi ketika sudah berada pada posisi yang nyaman dengan gaji yang menjanjikan.
Dari pernikahannya, ia dikaruniai tiga anak. Dua di antaranya mengikuti jejaknya di dunia perfilman, yakni Elnova Halimawan (32) sudah menikah dan memiliki anak satu.
Kemudian Iventigo Nalika Orasi (24), saat ini sedang menempuh kuliah di Prodi Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed. Sedangkan Arif Pratomo (36), sudah menikah dan punya anak satu. Saat ini bergelut di dunia perpajakkan.
Mamock mengaku memiliki 3 “istri”. Pertama adalah Titi Erlina (58), seorang PNS di SKB Purwokerto, kedua Rumah Film karena sering berada di situ, dan istri ketiganya adalah kamera karena harus dirawat.
Ketika melihat kemunculan televisi lokal dan nasional yang menurutnya kurang bagus, apalagi backgroundnya di dunia teater, ia berpikir untuk membuat program televisi yang bagus.
Ia pun menghimpun teman-teman teaternya di wilayah Purwokerto dan mahasiswa UIN Saizu Purwokerto dan Unsoed.
Pada tahun 2001, ia sudah memulai dengan mengikuti berbagai festival film. Salah satunya FFII (Festival Film Independent Indonesia) yang dinaungi oleh SCTV. Saat itu belum memenangkan juara, namun sudah mendapatkan nominasi.
Kali pertama membuat film, ia lebih berminat film komedi yang berdurasi pendek yang hanya memvisualkan komedi. Pada tahun 2003 mulai membuat program televisi, yaitu kartun Banyumasan cekakak.
Bentuk seperti itu ia kuliti, bahwa film tidak selalu dengan komedi. Sampai pada akhirnya ia berdiskusi dengan anak-anak teater untuk membuat film yang lebih serius.
Mulailah ia menggarap film yang menjadikannya sutradara dan produser. Karena ia memiliki payung, yaitu Studio PH Cakra Buana Kreasindo.
Dia membuka pintu lebar untuk para mahasiswa atau anak-anak yang ingin belajar tentang film. Selain sibuk hal itu, ia juga sibuk memproduksi film dan FTV bekerja sama dengan PH yang ada di Jakarta.
Terhitung hingga saat ini, ia sudah mensutradarai untuk pembuatan film berdurasi pendek atau komedi pendek sekitar 500an. Jika film yang genrenya berbeda masih ratusan. Sedangkan untuk film layar lebar yang disutradarainya, yaitu “Melati” berdurasi 2 jam.
Untuk film pertama yang ia garap adalah “Luka Menganga” berdurasi 30 menit. Namun film itu tidak dipublikasikan selain di televisi karena pada zaman dulu Youtube belum ada.
Kalau pada zaman dulu fokus eksposnya di televisi. Untuk file filmnya masih ada di kaset zaman dulu yang berukuran besar. Jika ingin ditampilkan harus dicapture ke komputer.
Untuk film yang kontraversi dan bereksperimen itu “Gang Sadar” Tahun 2009 dan sempat dipublish di kanal Youtube. Film itu bercerita tentang mengggiring orang untuk tidak datang ke Gang Sadar dengan segala histori. Namun sayang YouTube manifesnya ditangguhkan, sehingga harus menghapus semua video yang dipublish.
Menurutnya, hal paling fatal dalam pembuatan film adalah dari sisi ide, plot wistnya kurang bagus, dan pemaksaan pemain. Karena film itu bukan drama ataupun teater.
Seandainya peran kakek di perankan oleh temen sendiri, namun kumis dan rambutnya dibuat seolah-olah warna putih seperti kakek-kakek. Hal itu malah membuat kesan gagal casting dan memaksakan pemain.
”Solusinya ketika casting harus benar, ketika membutuhkan peran ibu ya mencari seorang ibu,” tuturnya.
Akhir-akhir ini kesibukannya membina anak-anak SMK yang PKL dengan jumlah 100-an. Mereka dari 3 jurusan, yaitu multimedia, broadcast dan animasi. Selain itu, juga ada mahasiswa PPL dari jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Saifuddin Zuhri berjumlah 10 orang.
Di rumah film yang didirikannya memiliki sistem PKL dan PPL yang berbeda. Sistem untuk memberdayakan siswa/mahasiswa untuk bekerja sendiri bukan untuk perusahaannya. Setiap hari mengajar di bidang videografi, misalnya film, ILM, atau lainnya.
Saat ini ia juga menjadi Ketua Komite Dewan Perfilman Kabupaten Banyumas. Kemudian juga bergabung ke dalam organisasi Kelompok Film Banyumas (KFB).
Untuk tempat produksinya di Sumampir dan masih satu atap dengan Ngalembana Film. Ngalembana film sendiri punya anaknya. Namun jadi bagian untuk sebuah produksi. Sedangkan tempat diklat atau pelatihannya di Studio PH Cakra Buana Kreasindo yang terletak di Jalan Pemuda Gang I.
Dia menjelaskan, yang digali dalam pembuatan film atau ILM itu ide. Karena ide itu harus dipikirkan untuk ke depannya mau buat apa dan bagaimana. Karena ia ingin yang fresh dan baru, tetapi belum ada di Youtube.
Menurutnya, perkembangan film di Banyumas geliatnya luar biasa. Namun film di Banyumas belum terlalu “genit”. Jadi ketika membuat film ini dan itu tidak ekspose.
”Ketika memenangkan ini itu tidak di ekspose. Untuk saat ini sineas dan komunitas di Purwokerto mulai unjuk gigi ke publik dengan prestasi,” ungkapnya.
Ketika ingin menjadi bintang tidak harus ke Jakarta, karena di Banyumas juga ada. Toh tak hanya dari Banyumas saja yang mengikuti casting, bahkan dari luar kota pun ketika di sini ada casting mereka ikut, misalnya Jakarta, Bandung, dan Bali.
”Selagi di lokal sudah ada, kenapa harus jauh-jauh mengikuti casting di luar kota? Apalagi jika ada yang merekrut menjadi artis di bawa ke Jakarta di iming-imingin bakal menjadi pemain sebuah film, tapi mesti membayar itu harus hati-hati. Karena pemain itu dibayar bukan malah membayar,” ujarnya.(mgO1-7)