Puisi-Puisi Izah Cahya akan menemani akhir pekan ini. Selamat membaca puisi-puisi Izah Cahya.
KAU ADALAH BAGIAN DARI PERJALANAN
Aku selalu menunggu perjumpaan kita,
pada dua puluh empat jam penuh makna
pada agenda istimewa
pada rasa mujur yang melimpah
Bukan maksudku hiperbolis
Nyatanya hanya ada satu perjumpaan yang dapat kita lukis,
dalam setiap tahun yang manis
Ditemani orang kepercayaan dengan sarat harapan logis,
yang tak ubahnya ujaran simbolis
Kau pernah berkisah:
Bukan dengan perayaan penuh ruah,
melainkan atas sesuatu yang melangit
Meski bara tak menyala pada sumbu lilin,
Ketakziman tak lantas meredup
−− asal raga kita lagi bersua
Sudah waktunya kita rampungkan hari ini
Bergilir pada 364 hari lain,
‘kan kuhidangkan kesetiaan
pun kukosongkan hati,
seraya terus menanti
hingga pamitmu tak kuberati
kau adalah bagian dari perjalanan:
hidup-matiku
(Baca Juga: Puisi-Puisi Nasta’in Achmad)
TANPA TAHU
Kita bertemu tanpa tahu,
di dalam ruang itu
diam-diam tercipta titik temu
bahkan semesta pun tak berkata lebih dulu
Kita berkisah tanpa tahu,
melalui kerapatan waktu
hingga tak ada jemu
yang semestinya jadi penentu
Kita bermain asmara tanpa tahu
memintasi kata tak ubahnya dengan rayu
pada pesona yang enggan layu
selagi bersama,
kita kekal dalam renjana
pada sukma yang bergelora
Kita berjarak tanpa tahu
di ruang yang dulu
kita mulai membekuk waktu
‘tuk sesaat memasrahkan rasa pada pilu
Akhirnya, kita berpisah tanpa tahu
kusiapkan ketabahan berkisar seribu
‘tuk menolak rindu
kuserahkan segenap memoar ini hingga berujung temu
pada ketidakpastian yang memburu
Lantas semesta,
teka-teki macam apa lagi yang akan kutemui ?
Aku ingin tahu
HUJAN DAN SI BOCAH INGUSAN
Siang itu, tepat pukul satu
Mentari sedang tak mau diganggu
Tersisa hujan dan awan kelabu yang bercumbu
Di pinggir jalan,
Tepat di halte pada sebuah persimpangan
Aku berlindung dari rintik hujan
Barangkali bisa kutemukan,
sebuah kehangatan
Satu jam berlalu
Hujan terus menyapa seolah tak tahu malu
Dari balik tetesnya yang jatuh dengan keras
Ada seorang bocah ingusan tak bersepatu
Menyeberang jalan dengan air muka pilu
Memegang sebuah benda yang dijadikannya sebuah lagu
Rupanya ia tengah bernyanyi di antara keramaian
sambil sesekali menyodorkan,
wadah kecil putih transparan yang masih kosong dengan harapan
Meski hujan dan keramaian berlaku kejam
Tak membuat semangatnya padam
Tak sedikit pun ia menampilkan wajah muram
Sebelum suara indahnya berlalu,
Kurogoh saku dalam-dalam
Mencoba memberi harapan
Melalui wadah yang digenggamnya
Hai, mereka yang berada di tengah keramaian!
masih adakah di hati secuil kebaikan?
Ah, mungkin suara hujan mampu mengalahkan,
seruan ketulusan dari nurani yang sejak awal tak berhenti menyerukan
(Baca Juga: Puisi-Puisi Dwita Utami)
MEMOAR BERBALUT LARA
Jika kau ingin tahu apa sebenarnya nestapa
maka akan kuberi tahu,
yang terasa sebelum benar-benar ada
adalah perihal bahagia
yang didapati saat terjadi
adalah seruan berulang pada semesta
meminta agar badai itu musnah
agar tak ada rintik hujan
jatuh dari pupil indah milik puan
sebelum aroma petrichor menghambur,
juga agar tak terdengar isak
yang akrab dengan sesak
di dalam dada
menukar suka cita dengan sekeping lara
yang ditulis usai pilu
adalah segenap harapan untuk menemukan kerelaan
dalam catatan kecil yang ditinggalkan
Jangan Lama-lama
tak perlu ragu
masa tak pernah menunggu
tak perlu bimbang
masa tak akan berulang
jangan lama-lama berada di kepala
atau terus berpikir
tanpa tahu jalan itu akan membawamu kemana,
tak ada kepastian
tak ada jaminan
bahwa lama selalu bermuara pada suka cita
jangan terlalu betah di kepala
berhentilah meragu
harusnya kepercayaan itu nyata
tanpa satu batas pun
Izah Cahya Novembrilianti, biasa dikenal dengan Izah atau Izah Cahya, adalah gadis yang lahir di Pekalongan, 28 November 2000. Ia merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Karyanya yang berupa artikel berhasil dimuat di media daring. Beberapa puisinya juga pernah masuk ke dalam kategori penulis terpilih dalam beberapa lomba cipta puisi nasional (Jejak Publisher, 2018-2019), serta menjadi kontributor pada beberapa buku antologi puisi. Saat ini penulis berdomisili di Desa Karasakageng, RT 02/010, Sragi, Pekalongan.