Sandang pangan papan, istilah ini tentunya tidak asing bagi telinga masyarakat Jawa. Sandang pangan papan dianggap sebagai sebuah konsep hidup manusia dalam pemenuhan kebutuhannya. Sandang memiliki arti pakaian, pangan memiliki arti makanan, papan memiliki arti tempat tinggal, ketiganya merupakan kebutuhan pokok bagi manusia dalam menjalani kehidupannya.
Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya tentang konsep hidup bagi orang Jawa ini, salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah tentang mana yang harus didahulukan, apakah sandang? Apakah pangan? Atau papan?
Sandang pangan papan, sebetulnya tidak bisa dilihat hanya dari arti katanya saja yang dianggap sebagai kebutuhan pokok manusia. Nenek moyang kita yang terdahulu sudah mengurutkan susunan katanya menjadi sandang-pangan-papan yang tidak bisa dibolak-balik urutannya. Urutan ini tentu saja memiliki penjelasannya tersendiri.
Kenapa sandang ada pada urutan pertama? Ya seperti yang kita ketahui, sandang memiliki arti pakaian, tapi yang dimaksud bukanlah pakaian seperti yang biasa kita kenakan sehari-hari. Sandang memiliki makna agar dalam menjalani kehidupan, seorang manusia harus mengutamakan untuk memantaskan diri dengan perilaku dan tindak tanduk yang baik.
Perilaku seseorang inilah yang akan dilihat dan dinilai oleh orang lain, baik atau buruknya seseorang, seperti orang lain yang melihat pakaian (sandang) yang kita kenakan, pantas (baik) atau tidak pantas (buruk).
Penempatan sandang pada urutan pertama adalah agar sandang (perilaku) manusia menjadi hal yang didahulukan atau menjadi landasan dalam menjalani hidup, sebelum seseorang mencari pangan dan papan untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan selalu mengutamakan sandang (perilaku) yang baik, maka seseorang akan baik juga dalam usaha mencari pangan dan papan.
Sandang juga bisa diartikan sebagai “ageman” yang dipadankan dengan “agama”. Agama dianggap sebagai ageman atau sandang yang dikenakan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya. Sehingga seseorang harus memantaskan, atau harus selalu mengutamakan menggunakan pedoman ajaran agamanya dalam setiap perilaku dan tindak tanduknya. Ketika hendak mencari makanan dan tempat tinggal (rezeki), maka harus mencari sesuai dengan ajaran agamanya.
Sementara untuk pangan dan papan, bisa dimaknai dengan melihat urutannya. Setelah manusia memiliki perilaku atau tindak tanduk yang baik, atau sudah menjalankan ajaran agamanya dengan baik, maka hal yang selanjutnya dicari adalah pangan untuk memenuhi kebutuhan perut. Mencari makanan haruslah sesuai dengan perilaku yang baik, atau dalam agama Islam bisa disebut rezeki yang halal.
Jika rezeki untuk makan sudah mencukupi atau bahkan lebih, barulah seseorang memikirkan untuk mengusahakan memiliki papan, misal seperti membangun rumah atau membelinya dari tabungan yang merupakan kelebihan dari pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari. Jadi yang paling utama dalam menjalani hidup ini adalah memantaskan diri dengan sandang yang bermakna sebagai perilaku dan tindak tanduk yang baik, dengan begitu semua usaha dalam mencari pangan dan papan akan menjadi baik juga.
Lalu bagaimana seandainya kita balik urutannya? Ya silakan dipikirkan saja, seandainya orang mengutamakan mencari pangan dan papannya, tapi tidak memantaskan sandangnya terlebih dahulu, maka bisa diibaratkan seperti orang telanjang yang tidak tahu malu. Dia tidak akan peduli dengan orang lain atau penilaian dari orang lain tentang dirinya, baginya yang terpenting adalah bisa makan dan punya papan.
Baca : Mengenal Lima Falsafah Hidup Orang Jawa Sebagai Pedoman Hidup
Fenomena orang telanjang seperti inilah yang saat ini banyak terjadi. Maling, perilaku korup, mencederai orang lain, menindas, tukang kibul dan banyak keburukan lainnya yang dilakukan manusia hanya untuk memenuhi pangan dan papannya. Orang sudah tidak merasa malu lagi dengan dirinya sendiri, yang diutamakan adalah perut kenyang dan rumahnya bagus tidak peduli diperoleh dari cara yang baik atau tidak. [YS]