Purwokerto merupakan salah satu kota yang memiliki stasiun Hoso Kyoku, yaitu stasiun radio siaran Jepang yang beroperasi di Indonesia selama masa pendudukan Jepang (1942-1945). Hoso Kyoku adalah pusat radio siaran Jepang dan Hoso Kyoku Purwokerto merupakan salah satu dari delapan stasiun radio yang ada di Jawa saat itu, selain di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, dan Malang. Stasiun Hoso Kyoku Purwokerto mulai beroperasi pada tanggal 12 Desember 1944.
Siaran Hoso Kyoku Purwokerto dilakukan setiap hari, pagi antara pukul 06.00 – 08.00, siang pukul 12.00 – 14.00 dan petang mulai pukul 17.00 – 23.00 atau 24.00. Karyawan Hoso Kyoku di Purwokerto masih sangat terbatas, jumlah karyawan bangsa Indonesia hanya sekitar antara 10 sampai 15 orang. Pimpinan studio seorang Jepang bernama Nisimura, serta Kepala Bagian Teknik yang juga seorang Jepang bernama Fujita.
Hoso Kyoku memiliki fungsi utama sebagai alat propaganda Jepang untuk mempengaruhi opini publik Indonesia dan menggalang dukungan untuk perang Asia Timur Raya. Siaran-siaran Hoso Kyoku menggunakan bahasa Indonesia setiap harinya, tetapi pada jam 18.00 ada siaran khusus relay dari Tokyo Hoso Kyoku yang siarannya berbahasa Jepang dan ditujukan kepada bangsa Jepang, terutama bala tentara Jepang yang ada di Indonesia. Pada masa itu sudah dikenal siaran sentral berupa warta berita dan siaran-siaran penting lainnya yaitu dari Jakarta Hoso Kyoku.
Hoso Kyoku Purwokerto berakhir seiring dengan kekalahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya dan penyerahan diri kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945, berita kemerdekaan Republik Indonesia disiarkan dari Kota Bandung melalui Hoso Kyoku. Sejumlah pemuda Bandung pada saat itu berjuang untuk menyiarkan kabar kemerdekaan Indonesia melalui radio. Sakti Alamsyah ditugaskan sebagai penyiar pertama di Bandung yang membacakan teks proklamasi di Radio Hoso Kyoku.
Ketegangan-ketegangan pada masa itu timbul antara para pejuang bangsa Indonesia untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan dengan bala tentara Jepang yang tidak rela melihat bangsa Indonesia merdeka. Demikian juga antara para pejuang Indonesia yang bekerja di kantor-kantor bekas Jepang, dengan bekas pimpinan-pimpinan mereka yang orang Jepang.
Hal ini juga terjadi di Hoso Kyoku Purwokerto. Walaupun pada saat itu studio dan pemancar tidak lagi digunakan untuk siaran, Hoso Kyoku dijaga siang dan malam oleh para karyawan orang Indonesia dengan bersenjatakan bambu runcing, sebagai bentuk semangat untuk merebut atau pengambilalihan bekas Hoso Kyoku Purwokerto oleh segenap karyawan yang terdiri dari orang Indonesia.
Pada tanggal 11 September 1945, jaringan stasiun Hoso Kyoku di Indonesia termasuk stasiun Hoso Kyoku Purwokerto resmi diambil alih oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio bekas dari Hoso Kyoku mengadakan pertemuan untuk membahas hal ini. Para wakil tersebut, antara lain Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Sutardji Hardjolukito, Soemarmadi, Sudomo Marto, Harto dan Maladi.
Rapat utusan radio di rumah Adang Kadarusman, Jalan Menteng Dalam Jakarta, menghasilkan keputusan mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI) dengan memilih Dokter Abdulrahman Saleh sebagai pemimpin umum RRI yang pertama. Dan dari kesepakatan rapat tersebut, Hoso Kyoku Purwokerto secara otomatis berubah menjadi RRI Purwokerto. Rapat tersebut juga menghasilkan suatu deklarasi yang terkenal dengan sebutan Piagam 11 September 1945, yang berisi 3 butir komitmen tugas dan fungsi RRI yang kemudian dikenal dengan Tri Prasetya RRI.
RRI Purwokerto saat ini merupakan salah satu stasiun penyiaran publik yang berada di bawah LPP RRI yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman No. 427, Kranji, Kecamatan Purwokerto Timur. RRI Purwokerto memiliki empat saluran siaran, yaitu RRI Pro 1, RRI Pro 2, RRI Pro 3, dan RRI Pro 4, yang masing-masing memiliki segmentasi dan karakteristik tersendiri.