WABAH Coronavirus Disease (Covid-19) telah membuat semua orang gelisah, bahkan merasa panik. Mass hysteria adalah frasa yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan situasi saat ini.
Bertambahnya jumlah korban Covid-19 yang drastis di seluruh belahan dunia membuat kita merasa overwhelmed atau bahkan seperti pikat kehilangan mata atau bingung tidak karuan. Lantas, bagaimana seharusnya menyikapi wabah Covid-19 ini?
Dari pengalaman penulis, ada tiga sikap dan perilaku pribadi yang bisa ditemui ketika menyikapi situasi pandemi ini.
Pertama, sikap acuh tak acuh. Sikap ini muncul karena menganggap pandemi ini tidak akan terjadi pada kehidupan kita. Wabah yang sedang mengamuk seakan tidak bakal berdampak apapun, seolah tidak terjadi apa-apa.
Saking acuhnya, kita tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa, seperti pergi ke pasar tiap pagi, nongkrong di kafe sepulang kerja, jalan-jalan ke tempat ramai dan sebagainya.
Sikap seperti ini, membuat diri sendiri bisa tertular dan menularkan virus Korona kepada orang lain. Dalam hal ini, kelompok orang-orang yang beresiko tinggi, terutama orang lanjut usia yang memiliki riwayat penyakit pernapasan, jantung dan diabetes.
Acuh tak acuh adalah pilihan yang menempatkan diri kita dalam bahaya secara sadar. Situasi seperti ini tidaklah menolong diri sendiri maupun orang-orang di sekitar.
Kedua, paranoid. Paranoid terjadi saat kita memiliki ketakutan berlebihan bahwa Covid-19 menunggu kita di tikungan untuk membonceng. Paranoid adalah hasil dari penilaian yang salah. Kita seakan melihat dunia dengan kaca pembesar dan membesar-besarkan suatu masalah. Celakanya, kadang kita tidak bisa melihat konteks secara keseluruhan.
Terobsesi
Orang yang mengalami paranoia memiliki perasaan tidak aman, rentan dan tak berdaya. Ia terobsesi dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apakah saya akan tertular?“, “Apakah saya akan kehilangan pekerjaan?“, “Apakah saya bisa mati?“, “Jika saya mati, siapa yg akan menafkahi dan merawat keluarga saya?“.
Apabila kita tidak termasuk dalam kelompok yang berisiko tinggi terkena wabah ini, rasa khawatir yang berlebihan justru akan kontraproduktif. Pada kenyataannya, hal itu bisa memicu depresi.
Sikap ketiga, yaitu realistis. Hal ini bisa diartikan sikap yang memiliki dosis cukup terhadap ketakutan. Selain itu juga merupakan suatu naluri bertahan hidup yang penting. Perasaan inilah yang mendorong kita untuk menjaga diri kita akan bahaya dengan mengambil langkah-langkah preventif yang masuk akal.
Sebagai contoh, misalnya melakukan social distancing, mengurangi aktivitas sosial, menahan diri untuk tidak melakukan perjalanan yang tidak penting, memakai masker jika dibutuhkan, serta mencuci tangan dengan benar dan saat diperlukan. Langkah-langkah ini akan membantu menghambat penyebaran Covid-19.
Sahabat-sahabatku yang bijak, saat mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan, kita tidak boleh melupakan bahwa menjalani hidup adalah tentang menerima resiko dan ketidakpastian. Tidak peduli seberapa baik persiapan, kita tidak dapat mencegah semua bencana.
Suatu saat kita bisa terkena serangan jantung dan mati muda, kita bisa tertabrak mobil dan mati di jalan, atau rumah kita bisa runtuh ketika kita tidur.
Namun, janganlah pernah merasa khawatir berlebih. Tidak perlu terobsesi dengan resiko yang justru lebih besar di dalam pikiran daripada kenyataannya. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah memperkecil resiko.
Dari ketiga sikap yang telah kita bahas, sikap apa yang sahabat pilih dalam menghadapi Covid-19. Apakah acuh tak acuh yang berarti menempatkan hidup kita dalam bahaya, paranoid yang membuat kita tenggelam dalam rasa depresi atau realistis bersikap hati-hati tetapi tidak gegabah?
(Anggita Dini, Direktur Eksekutif Yayasan BIJAK)