PURWOKERTO – Pegiat sastra di wilayah Banyumas mulai terusik dengan fenomena “mendadak sastra”. Gejala ini muncul di kalangan pendidik seperti guru untuk mengejar angka kredit demi kenaikan golongan.
Akademisi sekaligus penulis, Dimas Indiana Senja mengemukakan, belakangan ini, semakin banyak penerbit yang menawarkan pelatihan dan pembuatan buku cerita pendek atau puisi yang menyasar kalangan guru.
Pada dasarnya pelatihan membuat buku atau menulis itu merupakan hal yang baik. Asal, tujuannya semata-mata untuk pembelajaran.
“Yang disayangkan jika agenda semacam itu menjadi proyek. Baik swasta maupun pemerintah. Kalau memang mau pelatihan menulis, itu butuh waktu. Tidak cukup hanya sehari,” ujarnya melalui aplikasi pesan, Selasa (25/2).
Dia menekankan, bila kalangan penerbit ingin mendorong seseorang untuk menulis karya sastra, maka dia perlu memberikan pendampingan secara intensif. Artinya, bisnis sastra ini tidak sekadar menawarkan pembuatan buku yang intens. Apalagi dengan embel-embel memperoleh sertifikat “penyair”.
Menurut dosen muda IAIN Purwokerto ini, praktek tersebut sudah cukup meresahkan kalangan penikmat sastra. Alasannya, kualitas buku cerita pendek maupun puisi yang diterbitkan semakin berkurang. Bahkan, dalam diskusi di gedung teater indoor Taman Budaya Soetedja Purwokerto, akhir pekan lalu, muncul istilah gejala dekadensi sastra.
Sebelumnya, penulis puisi pada buku antologi “Eidetik”, Agustav Triono, menuturkan, penerbitan buku kumpulan puisi bagi para penulis pemula sebetulnya menjadi hal yang baru. Namun, penerbitan karya sastra memang semestinya harus melewati proses kurasi.
“Para penulis puisi “pinggiran” yang belum pernah ditempa dalam obrolan sastra atau komunitas masih membutuhkan proses lebih panjang. Sebab mereka baru saja memulai untuk berkarya,” kata dia. (K35-52)