PURWOKERTO – Penerbit dan sastrawan disarankan untuk berkolaborasi menghidupkan cyber sastra pada era digital. Hal tersebut dianggap dapat membuka ruang seluasnya bagi penulis pemula maupun para senior untuk mempopulerkan karyanya.
Kritikus sastra, Abdul Aziz Rasjid mengemukakan, sejarah sastra siber ini sudah ada sejak tahun 2000. Sastra siber adalah karya sastra yang dikerjakan dan dipublikasikan melalui medium internet. Biasanya berupa karya sastra yang bergenre puisi atau prosa, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya karya sastra berupa drama.
“Saat kemunculan cyber sastra semua orang sudah bebas menulis puisi. Bila alasannya untuk membuka ruang seluasnya kepada penulis pemula, kenapa saat ini yang diperdebatkan justru buku antologi. Ada kepentingan apa dibalik itu? Kalau bisnis sastra itu sah-sah saja,” ujar Aziz yang juga seorang jurnalis media online ini, di sela Forum Diskusi Komunitas Penyair Institute (KPI) Banyumas di gedung teater indoor Taman Budaya Soetedja, Purwokerto, Sabtu (22/2) malam.
Menurut dia, siber sastra ini justru mengembalikan respon sastra dalam bentuk tutur lisan, atau dalam bahasa sehari-hari. Selain itu, pembaca juga lebih mudah mengakses dan menikmati karya sastra secara terbuka dan terukur.
Aziz mengatakan, bicara era industri 4.0, sastrawan Banyumas juga harus membaca zaman. Teknologi bisa tersambung dengan dunia sastra. Mereka juga bisa membaca sebuah karya sastra yang dibagikan melalui media sosial.
“Hal yang sering kita lupakan adalah komunitas pembaca sastra kita. Mereka selalu terpinggirkan. Lewat website atau sastra digital mereka bisa terwadahi. Saya kira tidak tepat jika harus membuat buku antologi pada masa kini,” kata dia.
Berkolaborasi
Sementara itu, Owner SIP Publishing, Indra Defandra mengaku siap berkolaborasi dengan kalangan sastrawan. Baik tentang strategi marketing penerbitan karya, maupun pembuatan ruang siber sastra.
“Saya siap sharing. Saya punya kelas menulis dengan 500 anggota secara online. Saya berusaha membuat kesan bahwa menulis itu menyenangkan. Namun perlu diarahkan untuk hal yang lebih serius seperti menerbitkan karya,” kata dia.
Meski demikian, selama ini Indra mengaku lebih memilih menerbitkan buku ketimbang menggunakan dunia digital. Sebab buku, lebih mudah memiliki bobot kenangan atau memorabel.
Mantan jurnalis Djarot C Setyoko mengatakan, untuk permasalahan sastra harus ada yang “menggonggong” untuk menjaga kualitas sastra. Sastra bukan sekadar cerita silat Wiro Sableng, tapi harus terekam dalam pikiran seperti karya Ahmad Tohari, Pramoedya A Toer dan lainnya.
“Sastra harus sublim. Tertanam di otak ceritanya. Jangan diklaim bahwa ada kebangkitan sastra Banyumas. Itu perlu proses dan pola,” ucapnya.
Menurut dia, hal paling penting pada masa disrupsi saat ini adalah literasi masyarakat. Mereka harus menjadi orang yang sadar literasi. (K35-52)