PURBALINGGA – Tradisi dan budaya yang tetap hidup di masyarakat sejatinya dapat menjadi titik pengembangan daya tarik wisata. Kedua hal ini dianggap saling berkaitan dan saling mendukung.
Pengamat pariwisata Universitas Jenderal Soedirman, Drs Chusmeru MSi menilai, budaya setempat dapat dikemas menjadi atraksi wisata yang menarik untuk dinikmati.
“Pengembangan pariwisata tanpa kehadiran budaya dan tradisi akan kehilangan daya tariknya. Sebaliknya, budaya dan tradisi akan mengalami kendala pelestarian dan regenerasi pelaku bila tidak menjadi bagian dari atraksi wisata,” katanya, Minggu (29/9).
Menurut pria asal Cilacap ini, ajang seperti Festival Gunung Slamet yang digelar akhir pekan lalu, dapat diarahkan pada upaya pelestarian seni budaya dan tradisi yang sudah sejak lama ada. Hal itu bisa ditemukan kirab pengambilan air Tuk Sikopyah yang mewakili tradisi masyarakat.
Meski dikemas dalam bentuk pawai, kegiatan ini memancing wisatawan untuk mengabadikan momentum tersebut.
Namun, perlu ada inovasi baru agar tidak menimbulkan kebosanan di kalangan wisatawan. Sebagai pemanis, acara tambahan seperti pagelaran musik dan pesta budaya menjadi bagian dari suguhan kepada wisatawan.
Menurut dia, panitia, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Purbalingga dan masyarakat Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga perlu melakukan evaluasi berkala. Hal ini bertujuan untuk mengukur pengaruh atraksi wisata terhadap angka kunjungan, lama tinggal wisatawan, dan pengeluaran wisatawan.
“Inovasi dalam Festival Gunung Slamet juga diperlukan agar tidak muncul kebosanan dari wisatawan yang menyaksikan festival yang itu-itu saja. Ruang tradisi perlu lestari, ruang wisata perlu inovasi. (K35-)