PURBALINGGA – Festival Gunung Slamet telah menginjak tahun kelima. Gelaran ini masih mengandalkan kirab air dari Tuk Sikopyah sebagai ikon utama.
Sabtu (28/9) pagi, ribuan warga Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga berkumpul di sumber mata air Sikopyah. Setelah berdoa bersama, satu-persatu warga mengambil air lalu dimasukkan ke dalam lodong (wadah dari bambu).
Lodong berjumlah 777 buah itu diarak menuju ke Rest Area D’Las dengan berjalan kaki. Jaraknya tak jauh, hanya sekitar 2,5 meter dari sumber mata air. Tapi, mereka harus melintasi sawah dan ladang warga dengan jalur yang naik turun dan sempit.
“Pengambilan air itu dipercaya menjadi upaya untuk mencegah wilayah yang ada di lereng Gunung Slamet dari musibah kekeringan dan paceklik,” kata Kepala Desa (Kades) Serang, Sugito, di sela acara.
Sugito mengatakan ritual itu dilakukan secara rutin setiap tahun. Namun, pada sejak tahun 2015 kegiatan ini dikemas dalam atraksi wisata Festival Gunung Slamet. Selain membawa lodong berisi air, warga juga membawa gunungan sayuran yang berisi wortel, tomat, kopis, kentang dan hasil pertanian lainnya.
Air dalam lodong itu diterima oleh Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi, serta tokoh masyarakat desa setempat. Air itu kemudian ditampung dalam satu wadah besar untuk selanjutnya dibagikan kepada warga serta wisatawan yang hadir.
Sugito menuturkan, air dari Sikopyah merupakan air kehidupan bagi warga desa Serang, Kutabawa dan Siwarak. Bahkan dialirkan hingga wilayah kabupaten tetangga Pemalang.
Asal Mula
Mata air ini merupakan satu dari tiga mata air terbesar di lereng timur Gunung Slamet, yaitu mata air panas Guci, mata air panas Baturaden dan mata air dingin Sikopyah di desa Serang. Prosesi membawa lodong ini menjadi atraksi yang menarik wisatawan. Mereka pun berebut mengambil gambar dari dekat.
“Dari cerita masyarakat, asal mula nama Sikopyah berasal dari legenda Haji Mustofa yang tinggal di padepokan dukuh Kaji milik Ndara Subali yang suka bertapa di mata air Sikopyah. Mata air itu merupakan tempat mandi dari Haji Mustofa,” jelasnya.
Secara turun temurun, masyarakat desa Serang dan sekitarnya menyakini air Sikopyah tersebut sebagai air kehidupan. Ada juga yang meyakini kalau air Sikopyah dapat meningkatkan derajat dan menyembuhkan penyakit kulit.
Bupati Tiwi mengatakan, prosesi pengambilan air dari mata air Sikopyah merupakan tradisi warga desa Serang yang harus dilestarikan. Karena merupakan bagian dari upaya konservasi lingkungan.
“Atraksi wisata ini menjadi simbol merawat alam. Karena air selalu tersedia untuk kebutuhan masyarakat. Sedang angka 777 menjadi simbolisasi makna pitulungan yang berarti, air itu membawa pertolongan kepada warga masyarakat Serang dan Purbalingga,” kata Dyah.
Selain kirab 777 lodong, rangkaian festival masih dilanjutkan dengan pagelaran perang tomat, Akustik Kabut Lembut, parade rebana, hingga parade budaya dari daerah eks karesidenan Kedu, Pekalongan dan Banyumas (Dulongmas). Atraksi wisata budaya yang dikemas dalam Festival Gunung Slamet ini berlangsung pada 27-29 September 2019. (K35-37)